OLeh : Iqbal Zet
A.Pengertian Ilmu Hadist
Menurut Prof Dr T.M Hasbi Asidiq, Ilmu Hadist ialah : ilmu yang berkaitan dengan hadist.definisi ini dikemukakan mengingat ilmu yang behubungan dengan hadist sangat banyak macamnya. Hal ini disebabkan karena ulama yang membahas masalah ini juga banyak, karenanya dijumpai sejumlah istilah yang berkaitan dengan ilmu hadist.
Diantara ulama ada yang menggunakan sejarah ilmu hadsit, ilmu usul Al hadist atau ilmu musthalah hadist. Ilmu hadist dibagi menjadai dua bagian :
1. Ilmu Hadist Riwayah
Ilmu yang mangetahui perkataan, perbuatan takrir dansifat-sifat Nabi. Dengan kata lain ilmu hadist riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi baik perkataan, perbuatan, ataupun takrir.
2. Ilmu Hadist Dirayah
Ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadist dan sifat-sifat rawi. Oleh karena itu yang menjadi objek pembahasan dari ilmu hadist dirayah adalah keadaan matan, sanad dan rawi hadist
B. Perkembangan Ilmu Hadist
Orang yang melakukan kajian secara mendalam mendapati bahwa dasar-dasar dan pokok-pokok penting bagi ilmu riwayah dan menyampaikan bertita dijumpai didalam Al Quran dan Sunnah Nabi. Allah Swt berfirman :
Artinya : “Hai oarang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti” (Qs Al Hujrat 6)
Sedangkan didalam sunnah Rasulullah Saw:
Artinya : “Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu berita, yaitu hadist lalu ia menyampaikan berita itu sebagaimana yang didengar dan mungkin saja orang yang menerima berita itu lebih faham dari orang yang mendengar. (H.r At Tirmidzy)
Dalam uapaya melaksanakan perintah Allah dan Rasul nya para sahabat telah menetapkan hal-hal yang menyangkut penyampaian suatu berita dan penerimaannya, terutama jika mereka meragukan kejujuran si pembawa berita . berdasarkan hal itu, tampak nilai dan pembahasan mengenai isnad dalam menerima dan menolak suatu berita.
Didalam pendahuluan kitab Shahih Muslim, dituturkan dari Ibnu Sirin, “dikatakan, pada awalnya mereka tidak pernah menanyakan tentang isnad, namun setelah terjadi peristiwa fitnah maka mereka berkata, “sebutkanlah pada kami orang-orang yang meriwayatkan hadist kepadamu”.
Apabila orang-orang yang meriwayatkan hadist itu adalah ahlu sunnah, maka mereka ambil hadistnya . jika orang-orang yang meriwayatkan hadistitu adalah ahli bidah maka mereka tidak mengambilnya.
Berdasarkan hal ini, maka suatau berita tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui sanadnya. Karena itu muncullah ilmu jarah wa ta’dil, ilmu mengenai ucapan para perawi, cara untuk mengetahui bersambung (Muttasil) atau terputus (munqati)-nya sanad, mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Mmuncul pula ucapan-ucapan sebagai tambahan dari hadist sebagian perawi meskipun sangat sedikit karena masih sedikitnya para perawi yang tercela pada masa-masa awal. Kemudian para ulama dalam bidang itu semakin banyak, sehinggga muncul berbagai pembahasaan didalam banayak cabang ilmu yang terkait denag hadist, baik dari aspek kedhabitannya, tata cara menerima dan menyampaikannnya, pengetahuan tentang hadist-hadist yang nasikh dari hadist-hadist yang mansukh dll. Semua itu masih disampaikan ulama secara lisan
Lalu masalah itu pun semakin berkembang lam kelamaan ilmu hadist ini mulai ditulis dan dibukukan, akan tetapi masih terserap diberbagai tempat didalam kitab-kitab lain yang bercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqih dan ilmu hadist contohnya ilmu Ar Risalah dan Al Umm Imam Syafi’I.
Ilmu hadist mengalami perkembangan yang sanagat luart biasa pada awal abad ke tiga hijriyyah. Hanya saja, perkembangan itu masih berkutat pada upaya mengatahui yang bisa diterima dan ditolak karenanya pembahasan seputar periwayatan dan hadist yang diriwayatkan. Menurut sejarah ulama yang pertama-tama menghimpun ilmu hadist riwayat adalah Muhammad Ibnu Shihab Al Juhri atas perintah dari khalifah Umar bin Abdul Aziz. Al Zuhri adalah salah satu seorang tabiin kecil yang banayak mendengar hadist dari para sahabat dan tabi’in besar.
Sedangkan ilmu hadist dirayah sejak pertengahan abad kedua Hijriyyah telah dibahas oleh para ulama hadist, tetapi belum dalam bentuk kitab khusus dan belum merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada masa Al Qadhi Ibnu Muhammad Al Ramahurmudzi (265-360 H), barulah kemudian dibukukan dalam kitab khusus yang dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdidri sendiri.
Setelah itu barulah diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al Hakim Abdul Al Naysaburi dll. Pada masa ulama konten porer ilmu hadist dirayah dinamakan dengan Ulumul Hadist dan pada masa terakhir ini lebih mashur. Akhirnya ilmu-ilmu itu semakin matang , mencapai puncaknya dan memiliki istilah sendiri yang terpisah dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini terjadi pada abad ke empat Hijriyyah para ulama menyusun ilmu msthalah dalam kitab tersendiri, orang yang pertama menyusun kitab ini adalah Qadli Abu Al Fasih Baina Ar Rawi wa Al-wa’i.
C. Cabang-cabang Ilmu Hadist
Cabang-cabang ilmu hadsit dikelompokan menjadi beberapa hal sebagai berikut :
1. Ilmu Rijal Al Hadist
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadist dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadist ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam bidang ilmu hadist, karena pada saat ini ada dua yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal Al Hadist memberikan pengertian kepada persoalan khusus persoalan seputar sanad
2. Ilmu Al Jarah wa Ta’dil
Ilmu yang membahas kecacatan rawi, seperti keadilan dan kedhabitannya. Sehingga dapat ditentukan siapa diantara perawi itu yang dapat diterima atau ditolak hadsit yang diriwayatkannya. Ilmu jarah wa ta’dil ini dikelompokan oleh sebagian ulama kedalam ilmu hadist yang pokok pembahasannya berpangkal kepada sanad dan matan
3. Ilmu Tarikh Ruwat
Ilmu untuk mengetahui para pwrawi hadist yangberkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada aspek kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan
4. Ilmu Ilalil Hadist
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang mencacatkan keshahihan hadist, seperti mengatakan muttasil terhadap hadist munqati menyebat hadist marfu kepada hadsit mauquf.
5. Ilmu Nasikh wa Mansukh
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh, bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang dinamakan nasikh.
6. Ilmu Asbabi Wurudil Hadis
Ilmu yang menerangkan sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi menuturkan itu. Ulama yang mula-mula meyusun kitab ini adalah Abu Hafash Umar ibnu Muhammad Ibnu Rajak Al Ukbary, dari murid Ahmad
7. Ilmu Ghraib Al Hadist
Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafad-lafad hadist yang jauh dan sulit dipahami, karena lapad-lapd tersebutjarang digunakan.
Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama dan para tabi’in pada tahun 150 H. mulailah bahasa arab yang tinggi tidak diketahui lagi umum. Satu-satu orang saja lago yang mengetahuinya. Oleh karena itu, berusahalah para ahli mengumpul kata-kata yang dipandang tidak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari dalam sesuatu kitab dan mengsarahkannya.
8. Ilmu Al Tashif
Ilmu pengetahuan yang berusaha menanamkan tentang hadist-hadist yang sudah diubah titik atau sakalnya atau bentuknya.
9. Ilmu Muktalif Al Hadist
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang menurut lainnya bertentangan atau berlawanan, kemudian ia menghilangkan pertentangan tersebut atau mengkompromikan antara keduanya, sebagaimana juga ia membahas tentang hadist-hadist yang sulit difahami isi atau kandungannya dengan cara menghilangkan kemuskilan atau kesulitannya serta menjelaska hakikatnya
10. Ilmu Talfiqiel Hadist
Ilmu yang membahaskan tentang cara mengumpulkan antara hadist-hadist yang berlawanan lahirnya
Dikumpulkan itu adakalanya dengan mentahkhisiskan yang Am atau mentaqyidkan yang mutlak atau dengan memandang banyak kali terjadi.
Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadist diantara para ulama besar yang telah berusaha menuyusun ilmu ini ialah Al Imamusy Syafi’I, Ibnu Qutaibah, Ibnul Jauzy kitabnya bernama At Tahqiq sudah disarahkan oleh Ustad Ahmad Muhammad Syakir.
Mohon penjelasan tentang pendapat-pendapat dibawah ini: 1. Waktu wuquf Rasulullah th. 10 H jatuh hari jum’at, begitulah cara jum’at di Arafah!
2. Yaumu jum’atin pada hadits Muslim tidak menunjukkan hari jum’at melainkan hari berkumpul, jadi ada kemungkinan wuquf tahun 10 H hari Sabtu.
3. Hadits-hadits tentang musafir tidak wajib jum’at dha’if.
Anonimus
Jawaban :
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa jum’at itu hukumnya wajib berdasarkan dalil berikut ini:
يايها الذين ءامنوا اذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعواالى ذكر الله وذروا البيع ذالكم خيرلكم ان كنتم تعلمون.
Hai orang-orang yang beriman, apabila disuruh untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Jumu’ah : 9)
Ayat ini masih bersifat umum, yaitu semua mukmin wajib melaksanakan jum’at dimanapun ia berada dan dalam keadaan apapun. Namun kita dapatkan hadits yang shahih sebagai pengecualian dari keumuman yang wajib jum’at sebagai berikut:
عن طارق بن شهاب عن النبي صلعم قال: الجمعة حق واجب على كل مسلم فى جماعة الا اربعة عبد مملوك او امراْة او صبي او مريض. قال ابوا داود: طارق بن شهاب قد راْى النبي صلعم ولم يسمع منه شيئا.
Dari Thariq bin Syihab dari Nabi Saw ia bersabda: “Jum’at itu haq yang wajib atas setiap muslim dalam jama’ah, kecuali empat: hamba sahaya, perempuan, anak kecil atau yang sakit”. (HR. Abu Dawud).
Dalam hadits ini jelas dan terang musafir tidak termasuk yang dikecualikan dari kewajiban melaksanakan jum’at. Adapun hadits yang mengecualikan musafir dari kewajiban jum’at haditsnya dla’if, tidak bisa dijadikan hujjah. Dengan demikian musafir tetap wajib jum’at.
Ibnu Umar ketika sedang berada di Makkah (sedang safar pada hari jum’at, karena beliau adalah orang Madinah), ia melaksanakan jum’at, tidak melaksanakan shalat zhuhur seperti keterangan berikut ini.
عن عطاء قال: كان ابن عمر اذا كان بمكة فصلى الجمعة تقدم فصلى ركعتين ثم تقدم فصلى اربعا. واذا كان بالمدينة صلى الجمعة ثم رجع الى بيته فصلى ركعتين ولم يصلى فى المسجد فقيل له فقال: كان رسول الله صلعم يفعل ذالك (ابو داود).
Dari Atha ia berkata: Adalah Ibnu Umar jika berada di Makkah shalat jum’at, ia maju kemudian ia shalat dua raka’at, kemudian ia maju lalu ia shalat empat raka’at. Dan apabila ia berada di Madinah ia shalat jum’at, kemudian ia pulang ke rumah, lalu shalat dua raka’at, dan ia tidak shalat di masjid. Ditanyakan kepadanya (hal itu). Ia berkata, “Adalah Rasulullah Saw melakukan yang demikian”. (HR. Abu Dawud).
Lalu bagaimanakah dengan keputusan Dewan Hisbah yang menyatakan “Musafir boleh tidak jum’at?”
Kiranya perlu kita perhatikan keterangan-keterangan yang menjelaskan tentang musafir tidak melaksanakan jum’at. Seperti berikut ini:
عن جابر ... فاْجاز رسول الله صلعم حتى اتى عرفة فوجد القبة قد ضربت له بنمرة فنزل بها حتى اذا زاغت الشمس امر بالقصواء فرحلت له. فاْتى بطن الوادي فخطب الناس ... ثم اذن ثم اقام فصلى الظهر ثم اقام فصلى العصر ولم يصل بينهما شيئا ... (مسلم)
Dari Jabir: “…Selanjutnya Rasulullah Saw berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qashwa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan kepadanya. Selanjutnya beliau sampai di lembah, beliau memberi khutbah kepada manusia kemudian dikumandangkan adzan selanjutnya iqamat, terus beliau shalat dzuhur, kemudian iqamat, dan terus shalat ashar, dan beliau tidak shalat apapun di antara kedua shalat itu”. (HR. Muslim).
Pelaksanaan haji Rasulullah Saw tidak lepas dari safar, sedangkan pelaksanaan wuqufnya ketika itu bertepatan dengan hari jum’at. Akan tetapi beliau melaksanakan shalat dzuhur dan ashar dijama’.
Ada yang mengatakan bahwa waktu wuquf Nabi Saw di Arafah itu hari Sabtu itu sebabnya Nabi Saw tidak mengerjakan jum’at.
Jika demikian, pada hari jum’atnya sedang berada di Mina, sedangkan beliau dan para sahabatnya ketika di Mina melaksanakan shalat dzuhur, ashar, maghrib, isya dan shubuh. Jelasnya beliau tidak melaksanakan jum’at.
Keterangan lainnya:
عن نافع ان بن عمر ذكر له ان سعيد بن زيد بن عمر بن نفيل وكان بدربا مرض فى يوم جمعة فركب اليه بعد ان تعالى النهار واقتربت الجمعة وترك الجمعة.
Nabi Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar diterangkan kepadanya bahwa Sa’id ibn Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail, ia (peserta perang Badar) sakit pada hari jum’at. Maka Ibnu Umar pergi menjenguknya padahal hari sudah siang, datanglah waktu jum’at, ia pun meninggalkan jum’at. (HR. Al. Bukhari).
Ada yang menyatakan bahwa tidak jum’atnya Ibnu Umar ketika itu karena tidak ada orang lain untuk bersama-sama melaksanakan jum’at. Sedangkan Sa’id ketika itu sakit keras (jelas tidak bisa jum’at dan memang tidak wajib jum’at), kemudian istri Said ia pun tidak wajib jum’at. Dengan demikian hanya tinggal Ibnu Umar sendirian untuk jum’at tidak memenuhi syarat fi jama’atin. Dengan demikian beliau tidak jum’at.
Sebenarnya ketika Ibnu Umar tidak sendirian tetapi bersama Sa’ad ibn Abi Waqqash yang membantu mengurus jenazah. Dengan demikian beliau tidak jum’at itu bukan karena sendirian atau tidak memenuhi fi jama’atin, tetapi karena safar.
Keterangan lainnya:
وكان انس رض فى قصره احيانا يجمع واحيانا لايجمع وهو بالزاوية على فرسخين (البخارى)
Dan adalah Anas ibn Malik r.a. ketika safarnya, kadang-kadang melaksanakan jum’at, dan kadang-kadang tidak melaksanakan jum’at. Dan ia berada di az-Zawiyah sejarak dua farsakh (6 mil atau kurang lebih 9 km). (HR. Al. Bukhari).
Dengan menjamakkan (memadukan) keterangan-keterangan tersebut, maka kesimpulannya adalah, jum’at bagi musafir menjadi wajib mukhayyar. Yaitu musafir wajib jum’at, jika tidak jum’at harus shalat dzuhur. Kiranya inilah yang dimaksud dengan “Musafir Boleh Tidak Jum’at”.
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Tentang penetapan hukum haram pada suatu makanan, minuman atau sejenisnya, tidak diukur dengan pikiran (ra'yu) dan perasaan, tidak juga diukur dengan pengetahuan kita tentang adanya manfaat atau madarat.
Apabila alasan-alasan ini yang menjadi dasar hukum haram, maka akan banyak yang halal menjadiharam dan sebaliknya dengan ketetapan dari kita sendiri. Dengan demikian, hukum halal haram harus berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, bukan menurut pikiran kita.
Nabi saw. pun pernah ditegur oleh Allah swt karena melakukan hal demikian.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Wahai Nabi mengapa engkau apa yang telah Allah halalkan hanya karna mengharap kerelaan istri-istrimu dan Allah Maha pengampun lagi Maha Pengasih. Q.s. At-Tahrim : 01
Mengenai himbauan, kami tidak akan melarang apa yang tidak dilarang atau diharamkan. Mengenai hukum makruh itu lebih baik ditinggalkan. Dan hal seperti sudah diketahui oleh seluruh umat Islam.
Di kalangan sahabat Nabi pun dalam pengamalan makruh berbeda-beda, ada yang meninggalkan dan ada pula yang mengerjakan.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلاً فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَإِنَّهُ أُتِيَ بِبَدْرٍ. (قَالَ ابْنُ وَهْبٍ: يَعْنِي طَبَقًا فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا) فَسَأَلَ عَنْهَا فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ. فَقَالَ: قَرِّبُوهَا فَقَرَّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ كَانَ مَعَهُ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا. قَالَ: كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لاَ تُنَاجِي.
Dari Jabir bin Abdulah, ia berkata,”Nabi saw. telah bersabda,’Siapa yang makan bawang putih atau bawang merah, jauhilah kami dan jauhilah masjid kami. Hendaklah ia duduk di rumahnya. Dan bahwasannya dibawakan di Badar – Ibnu Wahab berkata,’Yakni sayuran sejenis makanan dengan sayuran dan bawang, beliau mendapatkan suatu aroma. Lalu bertanya tentangnya, lalu diberitahukan tentang bawang yang ada pada sayuran itu. Beliau bersabda,’Dekatkanlah makanan itu’ Lalu mereka mendekatkannya kepada sebagian sahabat yang hadir bersama beliau. Ketika Nabi melihat (dari dekat) makanan itu, beliau merasa makruh (tidak suka) memakannya. Beliau bersabda,’makanlah, karena aku berbicara kepada yang engkau tidak akan berbicara (Jibril).” H.r. Al-Bukhari, I :292, Muslim,I : 394
Adapun Tentang mengganggu orang lain atau mengotori tempat ibadah itu merupakan hal yang sudah jelas dilarang.
Wallahu A’lam
Perbedaan pendapat tentang isbal memang sudah lama ada, bukan sebuah hal yang qath'i, meski ada sebagian kalangan yang agaknya tetap memaksakan pendapatnya. Hal itu wajar dan kita harus berlapang dada.
Walaupun sesungguhnya perbedaan pendapat itu tidak bisa dipungkiri. Sebagian mengatakan bahwa memanjangkan kain atau celana di bawah mata kaki hukumnya mutlak haram, apapun motivasinya. Namun sebagian lainnya mengatakan tidak mutlak haram, karena sangat tergantung motivasi dan niatnya.
1. Pendapat Yang Mengatakan Mutlak Haram
Tidak sulit untuk mencari literatur pendapat yang mengharamkan isbal secara mutlak. Fatwa-fatwa dari kalangan ulama Saudi umumnya cenderung memutlakkan keharaman isbal.
Kalau boleh disebut sebagai sebuah contoh, ambillah misalnya fatwa Syeikh Bin Baz rahimahullah. Jelas dan tegas sekali beliau mengatakan bahwa isbal itu haram, apapun alasannya. Dengan niat riya' atau pun tanpa niat riya'. Pendeknya, apapun bagian pakaian yang lewat dari mata kaki adalah dosa besar dan menyeret pelakunya masuk neraka.
Beliau amat serius dalam masalah ini, sampai-sampai fatwa beliau yang paling terkenal adalah masalah keharaman mutlak perilaku isbal ini. Setidaknya, fatwa inilah yang selalu dan senantiasa dicopy-paste oleh para murid dan pendukung beliau, sehingga memenuhi ruang-ruang cyber di mana-mana. Berikut ini adalah salah satu petikan fatwa beliau:
Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di Neraka "[Hadits Riwayat Bukhari dalam sahihnya]
"Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu."(HR Muslim)
Kedua hadits ini dan yang semakna dengannya mencakup orang yang menurunkan pakaiannya (isbal) karena sombong atau dengan sebab lain. Karena Rasulullah SAW mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan. Kalau melakukan Isbal karena sombong, maka dosanya lebih besar dan ancamannya lebih keras.
Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan Isbal itu hanya karena sombong saja, karena Rasullullah SAW tidak memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan tadi, sebagaiman juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadist yang lain.
Beliau SAW menjadikan semua perbuatan isbal termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya bisa menjadi perantara menuju ke sana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan, dan semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan-lebihan dan mengancam terkena najis dan kotoran.
Adapun Ucapan Nabi SAW kepada Abu Bakar As Shiddiq ra. ketika berkata: Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda:
"Engkau tidak termasuk golongan orang yang melakukan itu karena sombong." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullahbahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan Isbal. Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang dimaafkan.
Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiannya turun. Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan Isbal besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.
Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi taufiq.
[Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad Da'wah hal 218]
2. Pendapat Yang Mengharamkan Bila Dengan Niat Riya'
Sedangkan pendapat para ulama yang tidak mengharamkan isbal asalkan bukan karena riya, di antaranya adalah pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang yang dengan sukses menulis syarah (penjelasan) kitab Shahih Bukhari. Kitab beliau ini boleh dibilang kitab syarah yang paling masyhur dari Shahih Bukhari. Beliau adalah ulama besar dan umat Islam berhutang budi tak terbayarkan kepada ilmu dan integritasnya.
Khusus dalam masalah hukum isbal ini, beliau punya pendapat yang tidak sama dengan Syeikh Bin Baz yang hidup di abad 20 ini. Beliau memandang bahwa haramnya isbal tidak bersifat mutlak. Isbal hanya haram bila memang dimotivasi oleh sikap riya'. Isbal halal hukumnya bila tanpa diiringi sikap itu.
Ketika beliau menerangkan hukum atas sebuah hadits tentang haramnya isbal, beliau secara tegas memilah maslah isbal ini menjadi dua. Pertama, isbal yang haram, yaitu yang diiringi sikap riya'. Kedua, isbal yang halal, yaitu isbal yang tidak diiringi sikap riya'. Berikut petikan fatwa Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء كبيرة, وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا, لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا, فلا يحرم الجر والإسبال إذا سلم من الخيلاء
Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa isbal izar karena sombong termasuk dosa besar. Sedangkan isbal bukan karena sombong (riya'), meski lahiriyah hadits mengharamkannya juga, namunhadits-hadits ini menunjukkan adalah taqyid (syarat ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbal tergantung kepada masalah ini. Maka tidak diharamkan memanjangkan kain atau isbalasalkan selamatdari sikap sombong. (Lihat Fathul Bari, hadits 5345)
Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah adalah ulama besar di masa lalu yang menulis banyak kitab, di antaranya Syarah Shahih Muslim. Kitab ini adalah kitab yang menjelaskan kitab Shahih Muslim. Beliau juga adalah penulis kitab hadits lainnya, yaitu Riyadhus-Shalihin yang sangat terkenal ke mana-mana. Termasuk juga menulis kitab hadits sangat populer, Al-Arba'in An-Nawawiyah. Juga menulis kitab I'anatut-Thalibin dan lainnya.
Di dalam Syarah Shahih Muslim, beliau menuliskan pendapat:
وأما الأحاديث المطلقة بأن ما تحت الكعبين في النار فالمراد بها ما كان للخيلاء, لأنه مطلق, فوجب حمله على المقيد. والله أعلم
Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa kepada muqayyad, wallahu a'lam.
والخيلاء الكبر. وهذا التقييد بالجر خيلاء يخصص عموم المسبل إزاره ويدل على أن المراد بالوعيد من جره خيلاء. وقد رخص النبي صلى الله عليه وسلم في ذلك لأبي بكر الصديق رضي الله عنه, وقال, " لست منهم " إذ كان جره لغير الخيلاء
Dan Khuyala' adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbal) pada kainnya, bahwasanya yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi SAW telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda, "Kamu bukan bagian dari mereka." Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar bukan karena sombong.
Maka klaim bahwa isbal itu haram secara mutlak dan sudah disepakati oleh semua ulama adalah klaim yang kurang tepat. Sebab siapa yang tidak kenal dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumallah. Keduanya adalah begawan ulama sepanjang zaman. Dan keduanya mengatakan bahwa isbal itu hanya diharamkan bila diiringi rasa sombong.
Maka haramnya isbal secara mutlak adalah masalah khilafiyah, bukan masalah yang qath'i atau kesepakatan semua ulama. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan itulah realitasnya.
Pendapat mana pun dari ulama itu, tetap wajib kita hormati. Sebab menghormati pendapat ulama, meski tidak sesuai dengan selera kita, adalah bagian dari akhlaq dan adab seorang muslim yang mengaku bahwa Muhammad SAW adalah nabinya. Dan Muhammad itu tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.
Pendapat mana pun dari ulama itu, boleh kita ikuti dan boleh pula kita tinggalkan. Sebab semua itu adalah ijtihad. Tidak ada satu pun orang yang dijamin mutlak kebenaran pendapatnya, kecuali alma'shum Rasulullah SAW. Selama seseorang bukan nabi, maka pendapatnya bisa diterima dan bisa tidak.
Bila satu ijtihad berbeda dengan ijtihad yang lain, bukan berarti kita harus panas dan naik darah. Sebaliknya, kita harus mawas dan jaga diri, luas wawasan dan semakin merasa diri bodoh. Kita tidak perlu menjadi sok pintar dan merasa diri paling benar dan semua orang harus salah. Sikap demikian bukan ciri thalabatul ilmi yang sukses, sebaliknya sikap para juhala' (orang bodoh) yang ilmunya terbatas.
Semoga Allah SWT selalu menambah dan meluaskan ilmu kita serta menjadikan kita orang yang bertafaqquh fid-din, Amin Ya Rabbal 'alamin.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
1. NGALAYAD NU TEU DAMANG
a. Kautamaan ngalayad
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ (مسلم : 2568، أحمد : 22731، الترمذي : 969)
Katampi ti Tsauban, anjeunna sasauran : Rosululloh SAW ngadawuh : “Sing saha nu ngalayad nu teu damang, eta jalma tumetep di taman sawarga nepi ka eta jalma mulih”. H.r. Muslim : 2568, Ahmad : 22731, At-Tirmidzi : 969
b. Istri ngalayad pameget sareng sawangsulna
عَادَتْ أُمُّ الدَّرْدَاءِ رَجُلاً مِنْ أَهْلِ الْمَسْجِدِ مِنَ الأَنْصَارِ (البخاري، فتح الباري 11 : 257)
عَنْ اُمِّ الْعَلاَءِ قَالَتْ : عَادَنِي رَسُوْلُ اللهِ وَاَنَا مَرِيْضَةٌ (أبو داود، عون المعبود 8 : 246)
Ummu Darda kantos ngalayad hiji pameget ahli masjid ti Anshor.
H.r. Al-Bukhori, Fathul Bari XI : 257
Katampi ti Ummul ‘Ala, anjeunna sasauran ; Rosululloh SAW kantos ngalayad sim kuring waktos sim kuring keur gering H.r. Abu Dawud, ‘Aunul Ma’bud VIII : 246
c. Ngalayad jalma kafir
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ غُلاَمًا لِيَهُوْدَ كَانَ يَخْدُمُ النَّبِيَّ فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ يَعُوْدُهُ، فَقَالَ : أَسْلِمْ، فَأَسْلَمَ (البخاري : 5657)
قَالَ ابْنُ بَطَالٍ : إِنَّمَا تُشَرَّعُ عِيَادَتُهُ إِذَا رُجِىَ أَنْ يُجِيْبَ إِلَى الدُّخُوْلِ فِي إلاِسْلاَمِ، فَأَمَّا إِذَا لَمْ يُطْمَعْ فِي ذاَلِكَ فَلاَ (فتح الباري 11 : 260)
Katampi ti Anas : Satemenna budak urang Yahudi khadam Nabi SAW teu damang, Nabi SAW nyumpingan bari ngalayad ka manehna. Nabi ngadawuh : Anjeun asup Islam nya. Lajeng eta jalma lebet Islam.
H.r. Al-Bukhori : 5657
Ibnu Bathol sasauran : Tayalian disyare’atkeunana ngalayad urang Yahudi teh upama diharepkeun manehna narima ajakan asup Islam. Anapon upama teu diharepkeun mah, henteu. Fathul Bari XI : 260
d. Adab ngalayad
عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ سَعْدٍ أَنَّ أَبَاهَا قَالَ : تَشَكَّيْتُ بِمَكَّةَ شَكْوًى شَدِيْدَةً فَجَاءَنِيَ النَّبِيُّ يَعُوْدُنِي. ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى جَبْهَتِي ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى وَجْهِي وَبَطْنِي ثُمَّ قَالَ : اَللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا وَأَتْمِمْ لَهُ هِجْرَتَهُ (البخاري : 5659، أبو داود : 3104)
Katampi ti Aisyah binti Sa’ad, satemenna rama-na sasauran : Ama kantos gering parna di Mekah, lajeng Nabi SAW sumping ngalayad ka ama, lajeng anjeunna nyimpen pananganana dina tarang ama, lajeng ngusapkeun pananganana kana beungeut jeung beuteung ama, teras ngucapkeun : Ya Alloh damangkeun Sa’ad, sareng sampurnakeun hijrahna
H.r. Al-Bukhori : 5659, Abu Dawud : 3104
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا دَخَلَ عَلَى مَرِيْضٍ يَعُوْدُهُ قَالَ لَهُ : لاَ بَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ (البخاري : 5656)
Katampi ti Ibnu Abbas : Satemenna Nabi SAW kabuktosan upami lebet ngalayad nu teu damang sok ngucapkeun ka eta nu teu damang : “Teu nanaon, mudah-mudahan nyucikeun (dosa) insya Alloh”.
H.r. Al-Bukhori : 5656
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَرْقِيْكَ بِرُقْيَةِ رَسُوْلِ اللهِ . قَالَ : اَللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَأْسِ اِشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شَافِيَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا (الترمذي : 975، البخاري : 2265، أبو داود : 3890)
Katampi ti Anas, anjeunna sasauran : Sim kuring bade macakeun ruqyahna Rosululloh SAW, nyaeta : “Ya Alloh Pangeran sakabeh manusa, nu ngicalkeun panyawat ! Mugi Gusti ngadamangkeun. Salira anu ngadamangkeun, teu aya nu tiasa ngadamangkeun lintang ti Salira, damang anu teu ngantunkeun panyawat” H.r. At-Tirmidzi : 975, Al-Bukhori : 2265, Abu Dawud : 3890
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ لاَ يَعُوْدُ مَرِيْضًا إِلاَّ بَعْدَ ثَلاَثٍ (ابن ماجة : 1437)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ثَلاَثَةٌ لَيْسَ لَهُمْ عِيَادَةٌ : اَلْعَيْنُ وَالدُّمَلُ وَالضِّرْسُ (البيهقي 6 : 535، الطبراني 1 : 133)
Katampi ti Anas, anjeunna sasauran : Kabuktosan Nabi SAW tara ngalayad nu teu damang kajaba saparantos tilu dinten. H.r. Ibnu Majah : 1437
Katampi ti Abu Hurairoh, anjeunna sasauran : Rosululloh SAW ngadawuh : Aya tilu jalma anu teu kedah dilayad, nyaeta : nu nyeri soca, nu bisul sareng nu nyeri waos. H.r. Al-Baehaqi VI : 535, At-Tobroni dina Al-Ausath I : 133
Dina sanad dua hadis kasebat aya rowi nu kakasihna Maslamah bin Ali Al-Khusyaniy. Para ulama ngarantunkeun (hadisna). Imam Al-Bukhori sasauran : munkarul hadis, An-Nasaiy sasauran : matruk. Mizanul I’tidal IV : 109, Ad-Du’afa wal matrukin no : 570, Al-Kasyif III : 126, Al-Maudu’at III : 208, Fathul Bari XI : 252, Faidul Qodir V : 228 sareng III : 380
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ وَعَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ مُحْتَسِبًا بُوْعِدَ مِنْ جَهَنَّمَ مَسِيْرَةَ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا (أبو داود، عون المعبود 8 : 250)
Katampi ti Anas, anjeunna sasauran : Rosululloh SAW ngadawuh : “Singsaha anu wudu kalawan sae teras ngalayad papada muslim kalayan miharep ganjaran, eta jalma bakal ditebihkeun tina naraka Jahanam satebih perjalanan 70 taun”. H.r. Abu Dawud, ‘Aunul Ma’bud VIII : 250
Dina sanadna aya rowi nu kakasihna Al-Fadl bin Dalham Al-Wasithiy. Saur Ibnu Ma’in : do’iful hadis, Abu Dawud kalih nu sanesna sasauran : Teu kiat, saur Ibnu Hibban : Eta rowi sok lepat, teu tiasa dijantenkeun hujjah upama infirod dina hadisna .‘Aunul Ma’bud VIII : 251, Mizanul I’tidal III : 351, Al-Kasyif II : 368
عَنْ اَبِي أُمَامَةَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِذَا عَادَ أَحَدُكُمْ مَرِيْضًا فَلاَ يَأْكُلْ عِنْدَهُ شَيْئًا فَإِنَّهُ حَظُّهُ مِنْ عِيَادَتِهِ (الديلمي 1 : 373)
Katampi ti Abu Umamah : Rosululloh SAW ngadawuh : “Upama salah saurang ti antara aranjeun ngalayad nu teu damang, eta jalma teu kengeng barang tuang di tempat eta nu teu damang, margi barang tuang eta ngarupikeun bagian ganjaran tina ngalayadna”. H.r. Ad-Daelami I : 373
Dina sanadna aya rowi nu kakasihna Musa bin Wardan. Eta rowi teu kiat. Ibnu Ma’in ngado’ifkeunana, saur Ibnu Hiban : seueur lepatna dugika sok ngariwayatkeun hadis-hadis munkar ti rowi-rowi nu mashur. Faidul Qodir I : 503, Tahdzibut Tahdzib VIII : 432, Mizanul I’tidal IV : 226
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ أَطْعَمَ مَرِيْضًا شَهْوَتَهُ أَطْعَمَهُ اللهُ مِنْ ثِمَارِ الْجَنَّةِ (الطبراني في الكبير 6 : 241)
Katampi ti Salman, anjeunna sasauran : Rosululloh SAW ngadawuh : “Sing saha anu masihan ka nu teu damang tuangeun nu dipikapalayna, Alloh bakal masihan tuangeun ka eta jalma ti antara bungbuahan sawarga”.
H.r. At-Tobroni dina Mu’jam Kabir VI : 241
Dina sanadna aya rowi nu kakasihna Abdurrahman bin Hammad. Saur Abu Hatim : Eta rowi munkarul hadis. Oge aya Abu Kholid, Amr bin Kholid. Eta rowi teh tukang bohong, matruk. Waki’ sasauran : sok malsu hadis. Imam Yahya, imam Ahmad kalih Ad-Daroqutni sasauran : Eta rowi teh tukang bohong. Faidul Qodir VI : 87, Mizanul I’tidal III : 257,Tahdzibut Tahdzib VI : 139
Oleh : Hamdan
Maot ngarupikeun urusan anu pinasti bakal karandapan, sakumaha Alloh SWT ngadawuh :
وَاللهُ خَلَقَكُمْ ثُمَّ يَتَوَفَّاكُمْ وَمِنكُم مَّن يُّرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَىْ لاَيَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ قَدِيرٌ {النحل : 70}
Alloh anu parantos ngayugakeun maraneh lajeng anjeunna anu bakal ngamaotkeun maraneh. Sarta ti antara maraneh aya anu dibalikkeun kana umur anu goreng (pikun) supaya manehna henteu nyahoeun saeutik oge saba’da manehna nyaho. Saestuna Alloh maha uninga, maha kawasa
Q.s. An-Nahl : 70
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ {الانبياء : 35}
Saban-saban jiwa baris ngarandapan maot. Kami baris maparin cocoba ka maraneh ku kasusah jeung kabungah minangka ujian ; jeung nya ka Kami maraneh baris dipulangkeun. Q.s. Al-Anbiya : 35
Urusan waktu oge tempat maot kalebet rusiah Alloh SWT, jalma teu aya nu uninga kana urusan eta. Alloh SWT ngadawuh :
إِنَّ اللهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَافِي اْلأَرْحَامِ وَمَاتَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَاتَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ {لقمان : 34}
Saestuna Alloh, nya di Anjeunna ayana pangaweruh perkara kiamat, jeung Anjeunna nu nurunkeun hujan, sarta Anjeunna nu uninga kana eusi kandungan, jeung henteu aya saurang oge nu nyaho naon anu bakal diusahakeun ku manehna isukan, jeung henteu aya saurang oge anu nyaho bakal di tanah mana manehna paeh, saestuna Alloh teh maha uninga, maha tingali. Q.s. Luqman : 34
Oge Rosululloh SAW parantos ngadawuh :
عَنْ مَطَرِ بْنِ عُكَامِسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِذَا قَضَى اللهُ مِيْتَةَ عَبْدٍ بِأَرْضٍ، جَعَلَ لَهُ إِلَيْهَا حَاجَةً (أحمد، مسند أحمد : 22332)
Katampi ti Mathor bin Ukamis, anjeunna sasauran : Rosululloh SAW ngadawuh : “Upama Alloh parantos netepkeun maotna hiji jalma di hiji tempat, anjeunna bakal ngajadikeun pikeun eta jalma aya kaperluan ka eta tempat” H.r. Ahmad, Musnad Ahmad no : 22332
Kumargi kitu midamel kasaean teu kenging di engke-engke, boh bilih sateuacan dilakukeun maot kabujeng datang, sakumaha diuningakeun dina sababaraha katerangan :
وَأَنفِقُوا مِن مَّارَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلآ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ، وَلَن يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَآءَ أَجَلُهَا وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ {المنافقون : 10-11}
Jeung geura dermakeun tina saniskara anu ku Kami dikurniakeun ka maraneh samemeh tumiba maot ka salah saurang ti antara maraneh anu tuluy nyarita : “Naha atuh Gusti henteu ngundurkeun maot abdi sakedap mah ; supados abdi tiasa sidekah heula sareng supados abdi jadi ti antawis jalmi-jalmi anu saroleh”. Padahal Alloh moal ngundurkeun (maotna) hiji jiwa upama geus tepi kana ajalna, jeung Alloh uninga kana saniskara anu ku maraneh diamalkeun. Q.s. Al-Munafiqun : 10-11
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ : ذَكَرْنَا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ الزِّياَدَةَ فِي الْعُمُرِ، فَقَالَ :إِنَّ اللهَ لاَ يُؤَخِّرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا، وَإِنَّمَا الزِّياَدَةُ فِي الْعُمُرِ أَنْ يَرْزُقَ اللهُ الْعَبْدَ ذُرِّيَّةً صَالِحَةً يَدْعُوْنَ لَهُ فَيَلْحَقُهُ دُعَاؤُهُمْ فِي قَبْرِهِ.
(ابن أبي حاتم، تفسير ابن كثير 2 : 573، 3 : 550، 4 : 373)
Katampi ti Abu Darda, anjeunna sasauran : Abdi sadaya nuju nyawalakeun leresan tambih umur payuneun Rosululloh SAW, lajeng anjeunna ngadawuh : “Saestuna Alloh moal ngundurkeun waktu maotna hiji jiwa upama parantos dugi ajalna. Tayalian nu disebut tambah umur mah Alloh maparin ka hiji hamba turunan saroleh anu baris ngadu’akeunana. Du’a eta turunan bakal dugi ka manehna nu aya di alam kubur”.
H.r. Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ibnu Katsir II : 573, III : 550, IV : 373
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ : اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمٍكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ (الحاكم، المستدرك 5 : 227 رقم 8010)
Katampi ti Ibnu Abbas, anjeunna sasauran : Rosululloh SAW ngadawuh ka hiji jalmi bari nganasehatanana : “Gunakeun ku anjeun 5 perkara sememeh 5 perkara ; ngora anjeun sememeh kolot, sehat anjeun samemeh gering, beunghar anjeun sememeh sangsara, nyalse anjeun sememeh riweuh, sarta hirup anjeun sememeh maot”. H.r. Al-Hakim, Al-Mustadrok V : 227 no : 8010
Persatuan Islam(Persatuan Islam) secara formal didirikan pada tanggal 12 September 1923 di Bnadung,, oleh sekelompok umat Islam yang tertarik pada kajian dan aktivitas keagamaan. Sebelumnya juga sudah berdiri beberapa oraganisasi gerakan dan klub untuk tujuan religius, sosial, pendidikan, politik dan ekonomi di Indonesia. Seperti Budi Utomo pada 1908, Sarikat Islam pada tahun 1912 dan Muhammadiyyah pada tahun 1912.
Berdirinya Persis diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan yang bermula dari sebuah kenduri keluarga di kota Bandung tepatnya di gang Pakgade. Kelompok ini dipimpin oleh H. Muhammad Zamzam dan H. Muhammad Yunus. Bersama jama’ahnya dengan penuh kecintaan mereka mengkaji dan mengaji ajaran Islam.
Nama Persatuan itu diberikan dengan maksud untuk mengerahkan ruhul jihad dan ijtihad. Berusaha sekuat tenaga mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan cita-cita organisasi yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam dan persatuan suara Islam. Ide ini diilhami oleh firman Allah SWT dalam al Qur-an surat ali imran ayat 102: “ dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai” serta hadits nabi yang diriwayatkan oleh Turmudzi : “ kekuatan Allah itu beserta jama’ah”. Firman Allah dan hadits tersebut menjadi motto Persis dan ditulis dalam lambing yang berbentuk lingkar bintang bersudut duabelas.
Sejak berdirinya Persis yang menggolongkan dirinya sebagai harakah tajdid (Gerakan Pembaharu) yang bertujuan memurnikan ibadah umat dari bid’ah, takhayul, dan khurafat sangat giat melaksanakan penyebaran faham Al-Qur-an dan As-sunah. Gerakan pemurnian agama Islam dilakukan dengan isu kontroversial yang bersifat gebrakan (shock therapy) dalam pendekatan yang lebih polemik dan mengundang kontroversi bahkan terkesan revolusioner, sehingga membuat kedudukan Persis terasa unik. Pemurnian aqidah dan pemantapan ibadah, dilakukan karena Persis memandang telah terjadi kerusakan akidah (pencemaran) dan penyimpangan praktek ibadah pada umat Islam yang banyak dipengaruhi oleh kolonial Belanda pada masa itu.
Gaung pembaharu Islam demikian nyaring terdengar. Terutama di akhir abad ke empat belas hijriah, isu pembaharuan semakin gencar di elu-elukan. Bukan saja oleh para pemikir, para sarjana, mahasiswa dan praktisi hukum Islam, ternyata pihak baratpun menyorotinya. Semua bermaksud memformulasikan konsep pembaharuan dalam islam. Permasalahan yang terjadi diantaranya semacam perbedaan persepsi akan pengertian pembaharuan. Ekses dari pemahaman itu berpengaruh kepada penentuan ruang lingkup dan batasan pembaharuan Islam.
Persis mewarnai corak pemikiran keagamaan dalam Islam. Sejarahpun mencatat, bahwa cita-cita ideal pendirian Persis telah melahirkan tokoh-tokoh Persis bersekala nasional bahkan internasional seperti, A. Hassan, KHM Isa Anshary, KHE Abdurrahman, KHA Latief Mukhtar dan M. Natsir yang dikenal sebagai seorang demokrat dan juga “Bapak” intelektual Islam Indonesia.
Perintah pembaharuan(baca:tajdid) itu bukanlah sematamata urusan manusia, tapi juga perintah Ilahi. Seperti yang disinyalir dalam sebuah hadits Nabi Muhammad saw, bahwa Alah Swt akan mengutus kepada umat ini, setiap kurun seratus tahun, man (bias diartikan orang/individu, dan jga sebuah jama’ah /kolektif) yang akan memperbaharui kembali ajaran Islam.
Generasi berikutnya adalah kita yang dituntut untuk bekerja lebih keras lagi dan dinamis dalam berfikir. Bukan artinya kita tidak boleh merasa membanggakan diri dengan sejarah msa lalu yang gemilang (euphoria nostalgia sejarah), tapi lebih dari itu dengan membuktikan semangat baru dalam membangun peradaban Negara ini. Bukankah Imam Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhahu berkata dalam sebuah pernyataannya yang berbunyi “ajarilah anak-anak kamu sesuai dengan kebutuhan zamannya, karena mereka akan hidup di suatu zaman setelah kamu.
Paradigma baru yang dibutuhkan Persis dalam wacana pemikiran adalah wawasan fiqih yang komprehensif (falsafat fiqih). Esensi ini dari paradigma ini adalah menerima pluralitas atau keragaman sebagai suatu realitas yang wajar ( bahkan dianjurkan sebagian ulama fiqih guna membangun tradisi berfikir serta memperkaya khazanah intelektual ke-islaman). Siapkah Persis membangun hal tersebut dimasa kini dan di masa yang akan datang?
Buku ini memberikan pemahaman tentang sepak terjang Persis saat mulai berdiri hingga kini ditanggapi oleh kelompok yang terhimpun dalam “Forum Silaturrahmi Persatuan Islam” ( FOSPI) yaitu sebuah wadah yang menampung berbagai alumni Pesantren Persis dan juga simpatisan Persis yang berada di Luar Negeri, khususnya Timur Tengah. Buku ini dimaksudkan untuk memberikan sebuah renungan atau tawaran bagi masa depan persis. Kaitannya bukan mencari jawaban siap atau tidak, ya atau tidak. Setidaknya ada tiga poin yang ditawarkan dalam penulisan buku ini, yaitu : pertama, melacak akar perjuangan Persis, kedua, merumuskan khittah perjuangan Persis, dan ketiga, harapan baru jam’iyyah Persis.
Tujuan pembuatan buku ini diataranya : pertama, ikut memberikan kontribusi pemikiran yang berarti bagi perkembangan masa depan Persis, kedua, merumuskan kembali paradigma Persis yang sesuai dengan realitas zaman tanpa membuang atau menghilangkan peranan para pendiri juga para sesepuh Persis, ketiga, mencoba untuk menjawab kekeringan berfikir yang sedang terjadi, sekaligus untuk memenuhi tuntutan eksistensi keberadaan generasi muda Persis saat ini.
Beberapa hal yang kurang dalam buku ini diantaranya penampilan cover buku yang tidak mewakili judul padahal isinya cukup menarik untuk dikaji. Wacananya terkesan ideal namun cukup menggugah pemikiran untuk lebih mendalami dalam kajian-kajian diskusi. Ide –ide kritis yang banyak mengalir dalam buku ini kurang ditonjolkan dalam segi tulisannya.
Disamping itu buku ini sangat bagus untuk dibaca karena banyak hal-hal yang menjadi pola-pola kearah lebih baik dalam mengelola sebuah organisasi khususnya Organisasi Masyarakat. Buku ini. penting untuk dikaji secara lebih mendalam, dan akan membuka cakrawala berpikir yang lebih luas. Permasalahan kajian dalam buku ini akan membawa pembaca menggambarkan bentuk sebuah paradigma Persis modern. Baik dalam wacana organisasi, wacana pemikiran, tatanan konsep maupun praktis. ***
TERAS REDAKSI
Seiring dengan arus perkembangan zaman, teknologi informasi semakin ketat bersaing untuk meraih informasi secara cepat dan akurat. Untuk mengimbangi hal tersebut Web Persis hadir untuk para pencari informasi khususnya dalam pengkajian Keislaman dan Organisasi Masyarakat sebagai wujud kontribusi dan sosialisasi Organisasi Persis dengan berbagai elemen masyarakat.
Dalam Kolom ini kami mengantarkan Pembaca untuk memasuki tema yang akan kami hadirkan setiap dua pekan sekali untuk mempermudah pembaca dalam pemilihan tema yang aktual sesuai komentar-komentar yang masuk di web ini.
Ramai dibicarakan orang tentang kasus BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk masyarakat kecil yang mengandung kontroversial dari semua kalangan. Berawal dari kenaikan harga kebutuhan pokok menyebabkan kesenjangan sosial yang sangat signifikan. Sedangkan tindakan Pemerintah terkesan hanya memberikan bantuan sementara tidak untuk dibekali sebuah jalan keluar yang sifatnya jangka panjang.
Belum lagi naiknya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang lagi-lagi menyalahkan pemerintah yang tidak becus dalam penanganan memimpin sebuah Negara. Pengendara kendaraan mengerutkan dahi karena ini sudah terlalu tinggi. Belum lagi para penumpang kendaraan umum yang harus rela berkorban menambah 20% dari ongkosnya untuk mengimbangi penghasilan para Pengemudi angkutan umum.
Jeritan rakyat kecil yang ingin mempertahankan hidupnya seolah menjadi hal yang biasa. Pengemis semakin bertambah, pengekploitasian anak-anak semakin marak dijalanan, busung lapar dipetiemaskan dan gizi buruk sudah sampai manakah penanggulanannya. Beruntung masih ada lembaga social yang masih peduli pada mereka namun itupun tidak mencukupi kapasitas yang ada.
Masih belum berakhir semangatnya hari kebangkitan nasional kemarin digemakan lewat televisi yang memperlihatkan kekayaan Indonesia dengan pesan sosial bahwa Indonesia bangkit untuk memberikan semangat baru dan sinergi menuju adil dan makmur. Namun apakah hal tersebut menjadikan kebangkitan juga untuk seluruh rakyat Indonesia dalam memahami dan saling bahu membahu menciptakan kebangkitan negeri yang terpuruk karena krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Siapa yang harus disalahkan ketika seluruh aspek kehidupan mulai tak tentu tujuan. Glamoritas tidak sepadan dengan angka kemiskinan di negeri ini. Si miskin seharusnya tidak berpangku tangan, Si kaya seharusnya tidak menggenggam tangan. Mari kita cari solusi dengan sama-sama memikirkan jalan keluarnya, bukan hanya bicara tapi dengan tindakan yang real yang bisa memberikan kontribusi. Saatnya meninggalkan individualisme dan mulai menata kehidupan sesuai dengan porsi dan rel yang telah dijalurkan. Ideal memang, namun perubahan itu harus ada. Seperti apakah wujud Indonesia masa yang akan datang jika sekarang begini, meminjam lirik sebuah lagu “Apa kata dunia??? “ Selamat membaca…
Liberalisme berasal dari bahasa latin Liber,
yang artinya bebas atau merdeka. Dari sini muncul istilah liberal arts yang berarti ilmu yang sepatutnya dipelajari oleh orang merdeka, yaitu: aritmetika, geometri, astronomi, musik, gramatika, logika dan retorika. Sebagai ajektif, kata liberal dipakai untuk menunjukkan sikap anti-feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka (open-minded) dan oleh karena itu merasa hebat (magnanimous).
Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sebuah sistem yang menentang mati-matian sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik dengan sistem demokrasi menggantikan kerajaan atau kesultanan tidak lepas dari liberalisme ini.
Dalam bidang ekonomi, liberalisme menunjuk pada sistem pasar bebas, di mana peran dan intervensi pemerintah sangat dibatasi. Kini liberalisme ekonomi menjadi identik dengan kapitalisme. Negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi perekonomian negara-negara kaya. Peran pemerintah yang mestinya melayani dan melindungi kepentingan rakyatnya, bergeser menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal internasional yang telah menginvestasikan modalnya di negara tersebut. Bahkan tidak jarang kebijakan ekonomi negara-negara miskin secara terang-terangan mengambil posisi berlawanan dengan aspirasi rakyat mereka sendiri.
Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313 Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (edik) yang isinya memberi kebebasan kepada warga Romawi untuk memeluk Kristen. Bahkan pada tahun 380 Kristen dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut edik Theodosius semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan ini, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dan dunia, bahkan menjadi sebuah imperium yang otoriter dengan selalu mengatasnamakan kehendak Tuhan.
Liberalisme muncul di Eropa sebagai reaksi dan perlawanan atas otoriteritas gereja yang dengan mengatasnamakan Tuhan telah melakukan penindasan. Konon tidak kurang dari 32.000 orang dibakar hidup-hidup atas alasan menentang kehendak Tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus termasuk di antara saintis-saintis yang bernasib malang karena melontarkan ide yang bertentangan dengan ide Gereja. Untuk mengokohkan dan melestarikan otoriteritas itu, Gereja membentuk institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia sampai akhir abad 15, yaitu Mahkamah Inquisisi. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War: The Crusade and Their Impact on Today’s World (1991 : 456) menyatakan, “Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Chatholic Chuch until the end of seventeenth century.”
Despotisme Gereja ini telah mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Liberalisme membolehkan setiap orang melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat ajaran agamanya, bahkan kalau ajaran agama tidak sesuai dengan kehendak manusia, maka yang dilakukan adalah melakukan penafsiran ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip dasar liberalisme. Wajar jika kemudian berbagai tindakan amoral pun seperti homoseksual, seks bebas, aborsi, dan juga berbagai aliran sesat dan menyesatkan dalam agama dianggap legal, karena telah mendapatkan justifikasi ayat-ayat Tuhan yang telah ditafsir ulang secara serampangan dan kacau.
Di antara sejumlah tokoh yang berani menentang otoritas Gereja adalah Nicolaus Copernicus (1543 M) dengan teori Heliosentris-nya yang menyatakan bahwa Matahari sebagai pusat Tata Surya. Sebuah teori yang menentang ajaran Gereja yang sekian lama memegang filsafat Ptolomaeus yang menyatakan bahwa Bumilah sebagai pusat (Geo-centris). Perjuangannya diikuti Gardano Bruno (1594M), fisikawan Jerman Johannes Kapler (1571 M), Galileo Galilei (1564 M) dan Isaac Newton (1642 M).
John Lock (1704 M) kemudian mengusung liberalisme bidang politik dengan menyodorkan ideologi yang mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari kekangan Gereja waktu itu. Adam Smith (1790M) mengusung liberalisme di bidang ekonomi yang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonominya tanpa intervensi dari pemerintahan gereja atau pemerintahan raja yang didukung gereja.
Ketika otoritas Gereja runtuh, bangsa Eropa terpecah menjadi dua aliran besar dalam menyikapi agama. Pertama, Aliran Deisme, yaitu mereka yang masih mempercayai adanya Tuhan, tapi tidak memercayai ayat-ayat Tuhan. Tokoh-tokohnya antara lain, Martin Luther, John Calvin, Isaac Newton, John Lock, Immanuel Kant, dsb. Dan kedua, Aliran Materialisme atau Atheisme. Aliran ini menganggap bahwa agama merupakan gejala masyarakat yang sakit. Agama dinilai sebagai candu atau racun bagi masyarakat. Di antara tokohnya, Hegel, Ludwig Feuerbach, dan Karl Marx. Ketidakpercayaan kepada Tuhan diusung pula oleh Charles Darwin (1809-1882 M) melalui bukunya The Origin of Species by Means Natural Selection (1859M). Melalui teori evolusinya, Darwin mencoba memisahkan intervensi Tuhan dalam penciptaan alam dan makhluk hidup di muka bumi ini. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa liberalisme merupakan upaya keluar dari kekangan ajaran Kristen yang bermasalah. Liberalisme telah mengantarkan masyarakat Barat menjadi orang atheis atau paling tidak deis.
Di bidang sosial kaum liberalis telah melegalkan homoseksual. Dignity, sebuah organisasi gay Katolik internasional pada tahun 1976 saja sudah memiliki cabang di 22 negara bagian AS. Di Australia ada organisasi serupa Acceptance, di Inggris ada Quest, di Swedia ada Veritas. Fakta yang fenomenal terjadi ketika Nopember 2003 seorang pendeta bernama Gene Robinson yang notabene seorang homoseks, dilantik menjadi Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire.
Liberalisme mengajarkan bahwa seks bebas dan aborsi sebagai privasi individu yang tidak boleh dicampuri oleh aturan agama atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, selama individu tersebut senang, sukarela, suka sama suka. Masyarakat dan agama tidak boleh menghakimi mereka. Padahal dampak terkejam dari perilaku seks bebas adalah kecenderungan manusia untuk lari dari tanggung jawab. Ketika terjadi kehamilan, jalan yang ditempuh adalah aborsi. Dengan demikian esensi dari free-sex itu adalah pembunuhan terhadap manusia.
Kaum liberalis menuntut emansipasi wanita, kesetaraan gender dengan mengabaikan nilai-nilai agama. Dengan jargon kebebasan (liberty) dan persamaan (egality), kaum feminis secara ekstrem telah memunculkan semangat melawan dominasi laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Banyak pria atau wanita yang lebih memilih hidup sendiri. Kebutuhan seksual dipenuhi dengan zina (free-sex), kebutuhan akan anak dipenuhi dengan adopsi dan bertindak sebagai single parent. Jika tidak mau direpotkan dengan anak, maka aborsi jadi solusi. Sejumlah negara Barat telah melakukan “Revolusi Jingga” dengan mengesahkan undang-undang yang melegalkan perkawinan sejenis.
Liberalisasi di bidang agama juga sudah merasuk kaum muslimin di Indonesia. Liberalisasi Islam dilakukan melalui tiga bidang penting dalam Islam, yaitu: (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa hanya agamanya saja yang benar. Menurut mereka, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri. (2) Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekontruksi terhadap Al-Qur’an. Para liberalis Islam telah memosisikan diri sebagai epigon terhadap Yahudi dan Kristen yang melakukan kajian “Biblical Criticism”. Kajian kritis terhadap Bible yang memang bermasalah. Menurut liberalis “All scriptures are miracles; semua kitab suci adalah mukjizat. Jadi Al-Qur`an sejajar dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Weda, Bagawad Ghita, Tripitaka, Darmogandul dan Gatoloco (?). (3) Liberalisasi syari’at Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’i dan pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara yang jadi barometernya bukan lagi Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi demokrasi, HAM, gender equality (kesetaraan gender) dan pluralisme. Kalau orang menyakini bahwa semua agama benar, bahwa Tuhan semua agama itu sama, hanya berbeda dalam memanggil, bahwa semua kitab suci itu sama mukjizat, masih patutkah dikategorikan sebagai seorang muslim dan mukmin? Wallahu a’lam.
Oleh : KHE Abdurrahman
"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS Al-Maidah: 67)
Sehubungan dengan ayat ini, Al-Mawardi dalam kitabnya “A’lamun Nubuwwah” (tanda-tanda kenabian) mencatat beberapa peristiwa yang menjadi bukti akan kebenaran apa-apa yang dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya. Ia selalu dijaga dan dilindungi dari segala kejahatan yang direncanakan pihak lawan. Sudah beberapa kali Rasulullah akan dibunuh orang di Mekah, tetapi semua rencana pembunuhan itu gagal.
Orang kafir Quraisy tidak mampu meniup cahaya Ilahi, tidak bisa meniup mata hati mereka akan kebenaran Al-Quran. Semua isi Al-Quran itu diakuinya benar, tidak dapat dibantah, tetapi kekufuran yang berdaulat di hati mereka telah menggelapkan mata mereka, sampai akhirnya mereka nekat akan membunuh Rasulullah Saw. Mereka menyangka bahwa dengan pembunuhan itu segala persoalan akan selesai dan akan hilang segala sesuatu yang tidak mereka inginkan.
An-Nadhr binil Haris, yang sering dipanggil dengan nama Abu Sahmin (juara panah), seorang tokoh dan pemimpin Quraisy yang besar pengaruhnya, mengadakan rapat di Darun Nadwah. Dengan dibantu oleh seorang pujangga terkemuka, Zibaro, dia memanaskan hati orang yang hadir, membakar nafsu, dan membangkitkan amarah serta kebencian kepada Rasulullah Saw.
Dengan bahasa dan cara yang menarik, ia mengatakan: “Mati lebih baik bagi kamu sekalian daripada hidup,” karena agama nenek moyang diganggu dan kepemimpinan berpindah tangan. Dalam rapat tersebut, Abu Jahal turut menyambut, menjelaskan kelemahan-kelemahan Rasulullah. Rasulullah hanya seorang diri, sedangkan kabilahnya, Banu Hasyim, orangnya tidak banyak. Kabilah ini hanyalah satu kabilah dari kabilah-kabilah Quraisy yang banyak jumlah.
Abu Jahal berkata: “Apakah tidak ada di antara kamu yang mau menyumbangkan hidupnya demi ketentraman bangsanya yang selalu dirongrong oleh Muhammad?” Lalu Abu Jahal menundukkan kepalanya.
Hadirin menyambut baik, dan mereka berkata: “Siapa yang berani, maka dialah yang akan diangkat menjadi sesepuh.”
Abu Jahal berkata: “Muhammad bukan orang terkuat di antara kita. Baiklah, akan saya hancurkan kepalanya dengan batu besar. Bila saya mati, maka saya telah berjasa menentramkan bangsa ini. Tetapi bila saya hidup, itulah yang saya harapkan.”
Pada waktu yang telah disekapati bersama, mereka berkumpul di Masjidil Haram, mereka mau menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Abu Jahal terhadap Rasulullah. Seperti biasanya Rasulullah masuk ke Masjidil Haram mendekati Ka’bah, kemudian beliau salat. Abu Jahal siap mendekati Rasulullah, disaksikan oleh kawan-kawannya. Ia sudah siap membawa mihras, yaitu alat pemukul yang besar dan panjang yang terbuat dari batu.
Rasulullah shalat dengan khusu, ruku dan sujudnya agak lama. Para pemerhati terkejut melihat kehusyuan Rasulullah itu, karena ia seperti tidak tahu ada yang mengintipnya.sedangkan dia tau situasi dalam keadaan bahaya. Mereka juga terkejut, karena Abu Jahal tidak segera mengambil kesempatan yang baik itu untuk menghancurkan kepala Rasulullah dikakernakan masih dalam keadaan sujud.
Kawan-kawan Abu Jahal bertambah terkejut dan heran setelah melihat mihras yang besar itu terjatuh dari tangannya dan jarinya berlumuran darah, dia lari terbirit-birit. Dia meminta tolong kepada kawan-kawannya karena badannya tidak bertenaga lagi, kemudian dia jatuh pingsan.
Setelah Abu Jahal sadar, ia menerangkan bahwa Muhammad itu mahjub, tertutup dalam lindungan, mihras tidak dapat digunakan, dan pada saat itu ia melihat seekor unta yang sangat besar, seakan-akan mau menelannya. Kawan-kawannya menertawakannya, sebab mereka tidak melihat apa-apa, tidak ada unta dan tidak ada sesuatu yang menghalangi Rasulullah. Mereka heran mengapa Abu Jahal lari ketakutan, padahal tidak terlihat ada sesuatu yang menakutkan dia. Kemudian mereka berkata: “Yang jelas, kamu Abu Jahal masih hidup, lalu kamu lari.”
Abu Jalah menjawab: “Kamu tidak mungkin dapat menipu atau membujuk aku.” Mereka tidak percaya akan omongan Abu Jahal itu, dan menyangka Abu Jahal berdusta, alasannya dibuat-buat untuk menyembunyikan ketakutannya akan kematian. Sehubungan dengan itu, pemimpin mereka, An-Nadhr atau Abu Sahmin, berkata: “Besok kita ulangi!” Lalu dijawab oleh kawan-kawannya, “Siapa yang dapat melakukannya, pasti akan dinobatkan sebagai pemimpin kami.”
Pada keesokan harinya mereka berkumpul dekat tempat salat Rasulullah dengan tekad yang bulat dan dengan keyakinan pasti bahwa dia akan menang. Begitu Rasulullah datang, dengan cepat mereka menyerbu Rasulullah. Tetapi mereka tidak dapat mendekatinya, sebab dengan cepat Rasulullah mengambil segenggam pasir, lalu ditaburkan ke arah mereka, sambil membaca, “Haa miim, laa yunsharuun”, dan larilah mereka bertebaran.
Mereka menyaksikan mukjizat Al-Quran, tidak disangsikan lagi kebenarannya. Mereka tidak mampu menunjukkan kesalahannya. Sungguh terasa kenyataan dan terbukti kebenaran Al-Quran. Hati nurani mereka menerima, tetapi nafsu buruknya menolak. Karena takut ajaran Islam diterima oleh kaumnya, mereka berusaha sekuat tenaga untuk melumpuhkan ajaran Islam, dengan mengorbankan harta, tenaga, dan jiwa.
Ma’mar bin Yazir adalah orang yang termasyhur, dia orang yang paling berani di kalangan kaum Bani Khimamah, pengaruhnya besar, dan hartanya banyak. Sewaktu orang-orang meminta tolong kepadanya agar Muhammad dimusnahkan, dia segera menyanggupinya. Dia berbesar hati karena anak buahnya banyak, bila ia cedera tentu ditolong, bila mesti membayar denda pembunuhan, dapat segera dibayar karena dia seorang hartawan.
Dengan langkah yang ringan dan hati yang riang ia pergi membawa pedangnya yang panjangnya tujuh jengkal dan lebarnya satu jengkal. Ia pergi menuju tempat salat Rasulullah di Masjidil Haram. Dengan pedang terhunus ia menunggu Rasulullah sujud. Tetapi tatkala pedang diangkat, dengan sontak mendadak ia melemparkan pdangnya, kemudian ia lari. Di Shafa, dekat Masjidil Haram, dia jatuh, mukanya terluka. Dengan muka yang berlumuran darah dia lari pulang ke akmpungnya.
Kawan-kawannya berkumpul, mereka menyucikan mukanya, setelah ia sadar, ia menerangkan bahwa ia lari karena takut dikejar oleh dua ekor ular besar, dan dia berkata: “Mulai sekarang saya tidak akan mau lagi mengganggu Muhammad.”
Mukjizat yang mereka lihat dengan mata kepala sendiri itu bukan tidak diterima oleh hati nurani, tetapi keingingan untuk taat kepada Islam tidak ada di hati mereka. Laksana orang yang masuk ke sebuah toko tetapi tidak berbelanja, bukan karena barangnya yang jelek, atau kualitasnya yang rendah, atau harganya yang mahal, dan bukan pula karena tidak ada daya beli, melainkan karena keinginan untuk berbenaja itu sendiri tidak ada. Demikianlah bila hati mengandung penyakit, dan bila hati sudah tertutup. Wallahu’alam**
Alhamdulillah terlaksanakan juga situs STAIPI (Sekolah Tinggi Agama Islam)yang beralamat di Buah Batu Ciganitri Kab Bandung,, setelah sekian lama direncanakan. Kepada Teman-teman dan simpatisan Persatuan Islam Kami mengharapkan bantuan rekan-rekan semuanya untuk bisa menginformasikan keberadaan website HMJ Tafsir Hadist ini. Karena dengan adanya bantuan rekan-rekan website ini (STAIPI-TAFSIRHADIST.com) akan terus hidup.
Kami sangat berterima kasih sekali kepada Persatuan Islam yang telah membimbing Kami sehingga Kami bisa berdiri sendiri sampai sekarang. Dan juga rekan-rekan semuanya yang telah membantu sejak mulai berdirinya STAIPI sampai sekarang, tanpa bantuang dari rekan-rekan Kami disini tidak akan pernah tersatukan dan terarah.
Kepada para kader yang masih aktif Kami sangat menginginkan sekali kontribusi rekan-rekan untuk bisa menghidupkan website STAIPI ini. Kami menerima kritik dan saran pengembangan. Silahkan untuk mengirimkan ke alamat iqbalzet@gmail.com
Selamat Datang kepada mahasis STAIPI, Semoga jalinan silaturahmi kita terus terjalin erat sampai masa tua nanti