Al Qur’an tidak hanya sebuah sumber ilmu, petunjuk dan inspirasi kebenaran yang tak pernah kering dan habis. Tetapi disaat yang sama, Al-Qur’an adalah sumber segala kebahagiaan sejati. Hanya saja ada sebuah persoalan rumit yang selalu menjadi sebab kita tidak pernah mendapatkan itu semua, keengganan kita untuk mengkaji untaian isinya yang diturnkan oleh Allah untuk kita semua. Kita tak pernah berhasil benar dalam meraih puncak ilmu, petunjuk dan kebahagian, karena kita leih terasing dari kitab yang mulia ini, kita tidak pernah benar-benar seperti yang dikatakan oleh seorang sehabat Nabi, “ Bacalah Al-Qur’an seolah ia baru diturunkan saat ini untukmu.” Mak tidak mengherankan jika kita pun seperti yang dikatan oleh Utsman r.a, “Jika saja hati kalian suci, maka ia tidak akan pernah kenyang dan puas dengan kalamullah
Memahami Pengulangan Tikrar
Salah satu kriteria yang dijadikan untuk menilai fasih atau tidaknya perkataan seseorang di kalangan bangsa arab, ialah bentuk pengulangan kata ataupun kalimat yang sama dalam satu waktu. Apa pengertian bahasan kita kali ini? Tikrar. Demikian sebutan akrabnya dalam kaedah bahasa. Tikrar berasal dari kata karra yang berarti kembali, mengulangi atau menyambung. Imam Jauhari menegaskan hal yang sama yaitu, arti kata karra ialah mengulangi suatu hal atau perbuatan tertentu. Sedangkan pengertian tikrar dalam istilah, ialah mengulangi satu kata atau kalimat yang sama beberapa kali karena bebarapa alasan, diantaranya dengan tujuan penegasan (tawkid), memberi peringatan atau menggambarkan agungnya sebuah hal tertentu. Para ulama bahasa membagi tikrar menjadi dua macam, yang pertama tikrar yang pola pengulangannya terdapat pada ejaan dan makna kata sekaligus, atau mengulang satu kata yang bermakna sama. Seperti jika seseorang mengatakan kata perintah asri’ asri’ !(cepat-cepat!). Satu kata tersebut diulang dengan makna dan ejaan yang tidak berbeda sama sekali. Tikrar yang kedua yaitu apabila pengulangan hanya pada makna saja, sedangkan ejaan katanya tidak sama. Misalnya, athi’ni wa la tu’shini! (taati dan jangan kau langgar aku!). coba cermati, dua kata ini meski berbeda, yang satu menggunakan kata athi’ni dan satunya lagi la tu’shini, akan tetapi kedua makna tersebut tetap saja sama, sehingga jika ada seseorang mengatakan jangan langgar aku, berarti ia juga memerintahkan untuk mentaatinya. Dirasa ilmu ini cukup penting dalam kajian bahasa, tulis imam Jakhidz , salah seorang ulama bahasa yang hidup di masa dinasti Abbasiyah, dalam kitabnya Rasail Al Jakhidz (Catatan-catatan Jakhidz), menjelaskan kapasitas dan derajat keilmuan seseorang bisa dilihat diantaranya dengan cara mengamati, sejauhmanakah ia mampu menggunakan bentuk pengulangan dalam pembicaraannya. Apa kaitannya dengan bahasan ilmu Alquran kali ini Mengenai apakah terdapat pola pengulangan dalam Al Quran atau tidak, para ulama berselisih pandang. Bagi mereka yang menafikan, atas dalih apapun pengulangan kata itu tetap saja tidak berfaedah, hal ini tentunya tidak berlaku untuk Kalam Allah, dan kalaupun toh pengulangan kata didapati dalam Al Quran, makna kata tersebut berbeda. Sedangkan sebagian yang lain, berpendapat keberadaan pola pengulangan tidak dapat dipungkiri. Kenyataannya, justru pola tikrar yang ada dalam Al Quran menunjukkan apiknya susunan bahasa yang dimiliki Al Quran. Sebagai dalil, sejumlah ulama telah mendata beberapa kata yang diulang-ulang dalam Al Quran, seperti imam Suyuthi, Ibnu Jauzy, Kurmani dan lain sebagainya. Bahkan dari mereka ada yang menggolongkan pola ini ke dalam ayat-ayat samar (mutasyabihat). Sebagai contoh, salah satu rujukan masa kini yang bisa digunakan untuk meneliti sejumlah kata yang diulang-ulang dalam Al Quran ialah Al Mu’jam Al Mufahras Li Al Tarakib Al Mutyabihah Lafdzon Fil Quranil Karim (Kamus Susunan Kata-Kata Yang Serupa Dalam Al Quran), karangan Dr. Muhammad Zaki Muhammad Khidir, Dosen di Universitas Yordania. Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, bahasan kali ini bukanlah untuk menjelaskan ada atau tidaknya tikrar apalagi terlibat jauh dalam perdebatan, melainkan mempelajari beberepa pola pengulangan dan makna yang terkandung didalamnya.
Jenis Pola Tikrar Fungsi Dan Maknanya Jika dicermati bentuk tikrar dalam Al Quran bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, pengulangan hanya terbatas pada makna saja, sedangkan lafalnya berbeda, dan yang kedua tikrar pada kedua-duanya lafal dan makna sekaligus. Bentuk yang pertama seperti pengulangan kisah-kisah nabi, ayat-ayat yang menggambarkan siksa dan nikmat di akherat, hari kebangkitan, dan ayat-ayat yang mengisahkan penciptaan langit dan bumi dan alam semesta. Meski masih menceritakan satu hal, lafal pada sejumlah ayat tersebut tidak sama persis. Barangkali akan muncul pertanyaan, jika seandainya ayat-ayat tersebut bisa dipahami hanya dengan sekali, mengapa harus diulang-ulang berapa kali? Justru disinilah menariknya. Ibnu Qutaibah menjelaskan Al Quran diturunkan dalam kurun waktu yang tidak singkat, tentunya keberagamaan kabilah yang ada di komunitas arab waktu itu cukuplah banyak, sehingga jika ayat tersebut tidak diulang-ulang, bisa jadi kisah-kisah teladan nabi Musa As, Isa As, Nuh As, Luth As dan sebagainya, hanya akan diterima oleh kaum tertentu, jadi dengan pengulangan tersebut setiap kaum dengan mudah memperolehnya, sehingga makna yang hendak disampaikan bisa ditangkap oleh semua kalangan. Kemudian bentuk tikrar yang kedua dalam Al Quran dapat dibagi menjadi dua, pertama apabila pengulangan kata masih terdapat dalam satu ayat, seperti ayat : “haihaata-haihaata lima tuu’adun” QS. Al Mukminun (23) : 36 dan yang kedua tikrar yang lafalnya diulang pada ayat yang berbeda dan terpisah. Seperti ayat : “ wa inna robbuka lahuwal Azizul Hakiim”. QS. AS Syu’araa’ (26) : 9, kalimat ini diulangi sebanyak 8 kali dalam surat yang sama yaitu AS Syu’araa. Selain contoh pengulangan dalam satu surat di atas, terdapat lafal yang diulang-ulang dalam surat yang berbeda-beda, seperti : “ wayaquuluuna mataa hadzal wa’du inkuntum shodiqin”, lafal ini akan kita dapati di tiga surat yang saling terpisah, yaitu QS. AN Naml (27) : 71, QS. Yaasin (36) : 43, dan QS. Al Mulk (67) : 25.
Faedah Pengulangan Dalam Al Quran Berdasarkan analisa imam zarkasyi dalam kitabnya “Al Burhan”, ada beberapa faedah yang bisa disimpulkan dari pola tikrar dalam Al Quran, diantaranya yang pertama penegasan atau penguatan (ta’kid) . Bahkan apabila dicermati, nilai penekanan yang dikandung pola takrir setingkat lebih kuat dibanding bentuk ta’kid. Keunggulan pola takrir ini disinyalir karena takrir mengulang kata yang sama, sehingga makna yang dimaksudkan akan lebih mengena. Lain halnya dengan pola ta’kid yang dalam penerapannya lebih sering menggunakan huruf atau perangkat yang mengindikasikan penegasan makna yang terkandung. Sebagaimana contoh berikut : “Hai maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)”. QS. Ali Imran (3) : 42. Kedua kata yang dicetak tebal, sama-sama menggunakan lafal isthafaaki yang diulang dua kali, dengan tujuan agar keistimewaan yang ada pada Maryam semakin jelas dan menjadi bukti atas kesucian yang ia miliki. Faedah yang kedua ٍpola takrir berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat sebuah peringatan, sehingga kata-kata tersebut bisa dipahami dan diterima. Misalnya, pengulangan kata ya qoumi (Hai kaumku ) pada kedua ayat yang berdekatan dan maknanya saling berkaitan : “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara)”. َQS. Al Mukmin (42) : 38-39. Fungsi pola takrir yang ketiga, untuk menghindari sikap lupa yang disebabkan kalimat tertentu terlalu panjang, sehingga jika sebuah kata tidak diulangi, dikhawatirkan kata yang berada di awal akan terlupakan. Seperti pengulangan kata Inna Rabbaka (Sesungguhnya Tuhan mu) pada QS. An Nahl (16) : 110. Kemudian yang keempat untuk lebih mengambarkan agungnya sebuah perkara, atau sebuah mengisahkan jika betapa sebuah peristiwa itu sungguh menakutkan. Sebagaimana pemberitaan tentang hari kiamat pada ayat : “al haaqqotu mal haaqoh”. QS. Al Haaqah (69) : 1-2. Selanjutnya faedah yang kelima, pola takrir ditempatkan sebagai ancaman dan intimidasi, seperti yang terdapat dalam ayat : “kallaa saufa ta’lamun tsumma kallaa saufa ta’lamun”. QS. AT Takaatsur (102) : 3-4. Ancaman tersebut diulang dua kali seakan mengatakan kepada orang yang lalai, hendaknya ia segera bertaubat, karena sejatinya ia tidak akan mengetahui sebesar apakah balasan siksa yang kelak ia tanggung. Pengulangan dalam Al Quran begitu sempurna. Dan menariknya, bentuk takrir dalam kondisi tertentu, senantiasa mempertimbangkan dan menyesuaikan karakter manusia yang amat beragam. Walhasil, tidaklah kebatilan itu didapati dalam Al Quran Kapan dan bagaimanapun. Maha Suci Allah Dengan Segala Firman Nya. Allahul Hadi Ila Sawaissabil
Adapun pembagian Tikrar terbagi menjadi dua bagian :
1. Tikrar Lafdi
2. Tikrar Ma’nawi
Tikrar Lafdi adalah pengulangan redaksi ayat di dalam Al-Qur’an baik berupa huruf-hurufnya ataupun susunan kalimatnya dengan tujuan tertentu. Tikrar ini di dalam Al Qur’an memiliki beberapa bentuk :
1. Tikrar Isim
Penyebutan Kata Benda Isim Dua Kali
Pengulangan dua kali sebuah isim memiliki empat kemungkinan :
1. Keduanya Ma’rifah
2. Keduanya Nakirah
3. Yang Pertama Ma’rifah sedang yang kedua nakirah
4. Yang pertama nakirah sedang yang kedua ma’rifah
1. Jika keduanya ma’rifah, maka pada umumnya yang isim kedua adalah yang pertama. Contohnya,
2. Sebliknya jika keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya :
Yang dimaksud “dha’f’ (kelemahan) pertama adalah sperma, “dha’f’ kedua thufuliyah (masa bayi), sedang “dha’f’ yang ketiga syaikhukhah (orang tua atau lanjut usia). Kedua macam ini pada ayat,
Dalam satu riwayat, Ibnu Abbasmengomentari ayat ini, “ satu ‘usr (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua yusr (kemudahan). Karena kata usr’ yang kedua diulangi dengan al ma’rifah, maka ‘usr’ yang pertama. Adapun kata yusr yang kedua bukan yusr yang pertama karena ia diulangi tanpa ‘al.”
3. Jika yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah maka yang kedua itu adalah yang pertama, karena sudah diketahui. Misalnya dalam ayat
4. Jika yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah, maka tergantung pada qarinahnya, terkadang qarinahnya (Indikasi) itu menunjukan bahwa keduanya itu berbeda, seperti :
Terkadang Qarinah itu menunjukan bahwa keduanya sama, seperti :
2. Tikrar Fiil adalah pengulangan redaksi ayat baik yang berbentuk kata kerja atau fiil
Contoh :
3. Tikrar Hurf adalah pengulangan ayat dalam Al-Qur’an berupa idiem-idiem susunan
kalimat (huruf dari 1 s.d beberapa huruf), Contoh :
4. Tikrar dengan nama orang adalah pengulangan ayat dalam Al-Qur’an berupa nama-
nama orang di dalam Al-Qur’an, Contoh :
5. Tikrar Surat adalah pengulangan ayat di dalam Al-Qur’an berupa huruf Muqataah di
bebera surat-surat, Contoh :
6. Tikrar Tasbih
Contoh :
7. Tikrar Ta’kid
Contoh :
8. Tikrar na’at atau sifat
Contoh :
9. Tikrar Athaf
Contoh :
10. Tikrar Jumlah
Contoh :
11. Tikrar Badal
Contoh :
12. Tikrar Qashosh
Contoh :
13. Tikrar Amil
Contoh :
Tikrar Ma’nawi adalah pengulangan redaksi ayat di dalam Al-Qur’an yang mana pengulangan ini lebih di titk beratkan kepada ma;na atau maksud dan tujuan pengulangan tersebut. Tikrar ini memiliki beberapa bentuk :
1. Mauidah
Contoh :
2. Wa’id
Contoh :
3. Wa’ad
Contoh :
4. Mubalagoh
Contoh :
5. Istihza
Contoh :
6. Tamsil
Contoh :
7. Qoshos
Contoh :
8. Na’o
Contoh :
9. Iltifat
Contoh :
Secara bahasa kata al-Qashash dan al-Qushsh maknanya mengikuti atsar (jejak/bekas). Sedangkan secara istilah maknanya adalah informasi mengenai suatu kejadian/perkara yang berperiodik di mana satu sama lainnya saling sambung-menyambung (berangkai).
Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan kisah paling benar sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala,
Artinya : ….. “Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?" Hal ini, kerana kesesuaiannya dengan realiti sangatlah sempurna.
Kisah al-Qur’an juga merupakan sebaik-baik kisah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala,
Artinya : Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orang-orang yang belum mengetahui.
Hal ini, kerana ia mencakup tingkatan kesempurnaan paling tinggi dalam pencapaian balaghah dan keagungan maknanya serta pengaruhnya terhadap perbaikan hati, perbuatan dan akhlaq amat kuat.
Jenis-Jenis Kisah
Kisah al-Qur’an terbahagi menjadi 3 jenis:
1. Kisah mengenai para nabi dan Rasul serta hal-hal yang terjadi antara mereka dan orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir.
2. Kisah mengenai individu-individu dan golongan-golongan tertentu yang mengandungi pelajaran. Kerananya, Allah mengisahkan mereka seperti kisah Maryam, Luqman,Dzulqarnain, Qarun, Ash-habul Kahf, Ash-habul Fiil, Ash-habul Ukhdud dan lain sebagainya.
3. Kisah mengenai kejadian-kejadian dan kaum-kaum pada masa Nabi Muhammad Saw, seperti kisah perang Badar, Uhud, Ahzab (Khandaq), Bani Quraizhah, Bani an-Nadhir, Zaid bin Haritsah, Abu Lahab dan sebagainya.
Beberapa Hikmah Penampilan Kisah
Hikmah yang dapat dipetik banyak sekali, di antaranya:
a. Penjelasan mengenai hikmah Allah Swt dalam kandungan kisah-kisah tersebut, sebagaimana firman-Nya,
“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran). Itulah suatu hikmat yang sempurna, maka peringatan-peringatan itu tiada berguna (bagi mereka).” (al-Qamar/54:4-5)
b. Penjelasan keadilan Allah Swt melalui hukuman-Nya terhadap orang-orang yang mendustakan-Nya. Dalam hal ini, firman-Nya mengenai orang-orang yang mendustakan itu,
“Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, kerana itu tiadalah bermanfa’at sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan.” (QS. hud/11:101)
c. Penjelasan mengenai kurnia-Nya berupa diberikannya pahala kepada orang-orang beriman. Hal ini sebagaimana firman-Nya :
“Kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing.” (QS. Al-qamar/54:34)
d. Hiburan bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atas sikap yang dilakukan orang-orang yang mendustakannya terhadapnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya :
“Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku azab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Ku.” (QS.fathir/35:25-26)
e. Cadangan bagi kaum Mukminin dalam hal keimanan di mana dituntut agar tegar di atasnya bahkan menambah frekuensinya sebab mereka mengetahui bagaimana kaum Mukminin terdahulu selamat dan bagaimana mereka menang saat diperintahkan berjihad. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt :
“Maka Kami telah memperkenankan doanya dari menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikian itulah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS.al-Anbiya’/21:88)
Dan firman-Nya yang lain :
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS.ar-Rum/30:47)
f. Peringatan kepada orang-orang kafir akan akibat terus menerusnya mereka dalam kekufuran. Hal ini sebagaimana firman-Nya :
“Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memerhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS.muhammad/47:10)
g. Menetapkan risalah Nabi Muhammad Saw sebab berita-berita tentang umat-umat terdahulu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Swt. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (QS.Hud/11:49)
Dan firman-Nya yang lain :
”Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (iaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (Ibrahim/14:9)
Apa Faedah Pengulangan Kisah?
Ada di antara kisah-kisah al-Qur’an yang hanya disebutkan satu kali saja seperti kisah Luqman dan Ash-habul Kahfi. Ada pula yang disebutkan berulang kali sesuai dengan keperluan dan mashlahah. Pengulangan ini pun tidak dalam satu aspek, tetapi berbeda dari aspek panjang dan pendek, lembut dan keras serta penyebutan sebahagian aspek lain dari kisah itu di satu tempat namun tidak disebutkan di tempat lainnya.
Hikmah Pengulangan Kisah
Di antara hikmah pengulangan kisah ini adalah:
- Penjelasan betapa pentingnya kisah sebab dengan pengulangannya menunjukkan adanya perhatian penuh terhadapnya.
- Menguatkan kisah itu sehingga tertanam kukuh di hati semua manusia
- Memerhatikan masa dan kondisi orang-orang yang diajak bicara. Kerana itu, anda sering mendapatkan kisahnya begitu singkat dan biasanya keras bila berkenaan dengan kisah-kisah dalam surah-surah Makkiyyah, namun hal sebaliknya terjadi pada kisah-kisah dalam surah-surah Madaniyyah
- Penjelasan sisi balaghah al-Qur’an dalam pemunculan kisah-kisah tersebut dari sisi yang satu atau dari sisi yang lainnya sesuai dengan tuntutan kondisi
- Nampak terangnya kebenaran al-Qur’an dan bahawa ia berasal dari Allah dimana sekali pun kisah-kisah tersebut dimuat dalam beragam jenis namun tidak satu pun terjadi kontradiksi.
Kisah Dzulqarnain :
• • • • • • • •
Artinya : “akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, Maka diapun menempuh suatu jalan. hingga apabila Dia telah sampai ketempat terbenam matahari, Dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan Dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: "Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan[889] terhadap mereka. berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, Maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian Dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami".
Dahulu ahli kitab kaum musyrikin bertanya kepada Rasulullah Saw tentang kisah Dzulqarnain, Allah Swt memerintahkan beliau utuk megatakan :
سَأَتْلُو عَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْرًا : “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.”
Cerita yang mengandung berita yang memberi kecukupan dan pembicaraan yang mengagumkan. Maksudnya, aku akan bacakan kepada kalian tentang Dzulqarnain, yang bisa menjadi ibrah (pelajaran). Adapun hal-hal lain yang tidak menjadi pelajaran, beliau tidak membacakannya Kepada mereka.
إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي اْلأَرْضِ : “Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di Muka bumi”
Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kekuasaan dan memantapkan pengaruhnya di segenap penjuru bumi, dan ketundukan mereka kepadanya.
وَءَاتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا. فَأَتْبَعَ سَبَبًا “Dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, Maka dia pun menempuh satu jalan”
Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sebab-sebab (sarana) yang menyampaikan kepada kedudukan yang dicapainya itu. Sarana-sarana itu membantunya untuk menaklukkan berbagai negeri, memudahkannya mencapai tempat-tempat yang paling jauh yang dihuni manusia. Dia menggunakan sarana-sarana yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan itu, sesuai dengan fungsinya. Karena tidak setiap orang yang mempunyai sebuah sarana, kemudian dia (mau) menjalaninya. Dan tidak setiap orang mempunyai kemampuan untuk menjalani sebab itu. Sehingga, ketika terkumpul antara kemampuan untuk menjalani sebab yang hakiki dan (kemauan) menjalaninya, tercapailah tujuan. Dan bila keduanya (kemampuan dan kemauan) atau salah satunya tidak ada maka tujuan tidak akan tercapai.
Sarana-sarana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada Dzulqarnain tidak diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Tidak pula berita-berita itu dinukilkan para ahli sejarah kepada kita dengan penukilan yang meyakinkan. Maka, tidak ada yang pantas bagi kita kecuali diam serta tidak melihat pada apa yang disebutkan para penukil kisah Israiliyat dan yang semacamnya. Hanya saja kita tahu secara global bahwa sebab-sebab tersebut kuat dan banyak, baik sebab internal maupun eksternal. Dengan sebab-sebab itu, dia mempunyai pasukan yang besar, banyak personil dan perlengkapannya, serta diatur dengan baik. Dengan pasukan tersebut, dia mampu mengalahkan musuh-musuh, memudahkannya untuk sampai ke belahan timur, barat maupun segenap penjuru bumi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sebab kepadanya yang mengantarkannya sampai ke tempat terbenamnya matahari, hingga dia melihat matahari dengan mata kepala seakan-akan matahari itu tenggelam di lautan yang hitam. Dan ini biasa bagi orang yang hanya ada air (lautan) antara dia dan ufuk terbenamnya matahari. Dia melihat bahwa matahari tenggelam ke dalam laut itu, meskipun dia berada pada puncak ketinggian
Di sana, yakni di tempat terbenamnya matahari tersebut, Dzulqarnain menemukan sekelompok manusia
قُلْنَا يَاذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا “Kami berkata: ‘Hai Dulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka”
Yakni, engkau bisa mengadzab mereka dengan pembunuhan, pukulan, atau menawan mereka dan semacamnya. Atau engkau berbuat baik kepada mereka. Dzulqarnain diberi dua pilihan, karena –yang nampak– kaum itu adalah orang kafir atau fasik, atau mereka memiliki sebagian sifat-sifat tersebut. Karena bila mereka adalah kaum yang beriman bukan orang fasik, tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan keringanan bagi Dzulqarnain untuk mengadzab mereka. Ini menunjukkan bahwa Dzulqarnain memiliki as-siyasah asy-syar’iyyah yang menjadikannya berhak dipuji dan disanjung, karena taufiq yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya. Dia lalu berkata: “Aku akan menjadikan mereka dua bagian :
أَمَّا مَنْ ظَلَمَ : “Adapun orang yang aniaya.” Yakni kafir.
فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَى رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُكْرًا
“Maka kami kelak akan mengadzabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Rabbnya, lalu Dia mengadzabnya dengan adzab yang tidak ada taranya.” Yakni, orang yang aniaya akan mendapatkan dua hukuman, hukuman di dunia dan di akhirat.
وَأَمَّا مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَى
“Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan.” Yakni sebagai balasannya, dia akan mendapatkan surga kedudukan yang baik di sisi Allah Swt pada hari kiamat.
وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا “Dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami
Yakni, kami akan berbuat baik kepadanya, berlemah lembut dalam tutur kata, dan kami permudah muamalah baginya. Ini menunjukkan bahwa Dzulqarnain termasuk raja yang shalih, wali Allah Subhanahu wa Ta’ala yang adil lagi berilmu, di mana dia menepati keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memperlakukan setiap orang sesuai dengan kedudukannya
Dzulqarnain mendapati matahari terbit di atas komunitas manusia yang tidak memiliki pelindung dari sinar matahari. Bisa jadi karena mereka tidak menyiapkan tempat tinggal, karena mereka masih liar, tidak beradab, dan nomaden. Atau bisa juga karena matahari selalu berada di atas mereka, tidak pernah tenggelam. Sebagaimana hal ini terjadi di wilayah Afrika Timur bagian selatan. Dzulqarnain telah sampai kepada suatu tempat yang belum pernah diketahui penduduk bumi, terlebih pernah mereka datangi (secara fisik) dengan tubuh mereka. Namun demikian, ini semua terjadi dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala atas Dzulqarnain dan pengetahuannya terhadap hal itu. Oleh karena itu, Allah berfirman :
كَذَلِكَ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا “Demikianlah. Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya.”
Maksudnya, Kami mengetahui kebaikan dan sebab-sebab agung yang ada padanya, dan ilmu Kami bersamanya, kemanapun ia menuju dan berjalan.
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا. حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُونِهِمَا قَوْمًا لاَ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلاً
“Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan keduanya suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan”
Para ahli tafsir berkata: Dzulqarnain pergi dari arah timur menuju ke utara. Sampailah dia di antara dua dinding penghalang. Kedua dinding penghalang itu adalah rantai pegunungan yang dikenal pada masa itu, yang menjadi penghalang antara Ya`juj dan Ma`juj dengan manusia. Di hadapan kedua gunung itu, dia menemukan suatu kaum yang hampir-hampir tidak bisa memahami pembicaraan, karena asingnya bahasa mereka dan tidak cakapnya akal dan hati mereka. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi Dzulqarnain sebab-sebab ilmiah yang dengannya bahasa kaum itu menjadi bisa dipahami dan dia memahamkan mereka. Dia bisa berbicara kepada mereka dan mereka bisa berbicara kepadanya. Mereka kemudian mengeluhkan kejahatan Ya`juj dan Ma`juj kepada Dzulqarnain. Mereka merupakan dua umat yang besar dari keturunan Adam ‘alaihissalam.
Kaum itu berkata :
قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ “Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku adalah lebih baik”
Maksudnya, lebih baik daripada apa yang kalian berikan kepadaku. Aku hanyalah meminta kalian untuk membantuku dengan kekuatan tangan-tangan kalian.
أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا “Agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.” Yakni sebagai penghalang agar mereka tidak melintasi kalian.
آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ “Berilah aku potongan-potongan besi.”
Merekapun memberinya.
حَتَّى إِذَا سَاوَى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ “Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu.”
yaitu dua gunung yang antara keduanya dibangun penghalang.
قَالَ انْفُخُوا “Berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api itu)’
Maksudnya, nyalakanlah dengan nyala yang besar. Gunakanlah alat tiup agar nyalanya membesar, sehingga tembaga itu meleleh. Tatkala tembaga itu meleleh, yang hendak dia tuangkan di antara potongan-potongan besi,
آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا “Berilah aku tembaga agar kutuangkan ke atas besi panas itu.” Maksudnya, tembaga yang mendidih. Aku tuangkan tembaga yang meleleh ke atasnya. Maka dinding penghalang itu menjadi luar biasa kokoh. Terhalangilah manusia yang berada di belakangnya dari kejahatan Ya`juj dan Ma`juj.
فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا “Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya.”
Maksudnya, mereka tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mendakinya karena tingginya penghalang itu. Tidak pula mereka bisa melubanginya karena kekokohan dan kekuatannya. Setelah melakukan perbuatan baik dan pengaruh yang mulia, Dzulqarnain menyandarkan nikmat itu kepada Pemiliknya. dia berkata :
هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي “Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku
Maksudnya, merupakan karunia dan kebaikan-Nya terhadapku. Inilah keadaan para khalifah yang shalih. Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan nikmat-nikmat yang mulia kepada mereka, bertambahlah syukur, penetapan, dan pengakuan mereka akan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana ucapan Sulaiman ‘alaihissalam ketika singgasana Ratu Saba` tiba di hadapannya dari jarak yang sedimikian jauh.
قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ “Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya.”
Ini berbeda dengan orang yang congkak, sombong, dan merasa tinggi di muka bumi. Nikmat-nikmat yang besar menjadikan mereka bertambah congkak dan sombong. Sebagaimana ucapan Qarun ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya perbendaharaan yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat dia berkata :
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”
Ucapan Dzulqarnain: فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا “Maka apabila sudah datang janji Rabbku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku itu adalah benar.”
Maksudnya, waktu keluarnya Ya`juj dan Ma`juj. جَعَلَهُ “Dia akan menjadikannya....” Maksudnya, menjadikan dinding penghalang yang kuat dan kokoh itu (hancur luluh), dan runtuh ratalah dingding itu dengan tanah.
وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا “Dan janji Rabbku itu adalah benar.”
وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ “Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain.”
Bisa jadi dhamir (kata ganti mereka) kembali kepada Ya`juj dan Ma`juj –ketika mereka keluar kepada manusia– karena banyaknya jumlah mereka dan meliputi seluruh permukaan bumi, sehingga mereka berbaur satu sama lain. Sebagaimana firman Allah Swt
حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ “Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya`juj dan Ma`juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi”
Bisa juga kata ganti tersebut kembali kepada seluruh makhluk pada hari kiamat. Mereka berkumpul pada hari itu dalam keadaan banyak sehingga bercampur-aduk antara satu dengan yang lain”
Selama ini banyak disalah pahami bahwa Dzulqarnain adalah Alexander Agung atau Alexander The Great, seorang penakluk asal Macedonia. Padahal yang dimaksud Al-Qur’an, Dzulqarnain adalah seorang shalih yang hidup di masa Nabi Ibrahim, bukan seorang kafir yang merupakan anak didik filosof Yunani, Aristoteles. Berikut ini kami nukilkan penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Fathul bari tentang Dzulqarnain.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu membawakan kisah Dzulqarnain dalam Kitabul Fitan bab Qishshatu Ya`juj wa Ma`juj dalam Shahih-nya, sebelum Bab Qaulullah ta’ala Wattakhadza Ibrahima Khalilan. Hal ini merupakan isyarat untuk melemahkan pendapat yang mengatakan bahwa Dzulqarnain yang disebut dalam Al-Qur`an adalah Iskandar Al-Yunani (Alexander Agung 1). Karena Iskandar 2 Al-Yunani hidup pada masa yang berdekatan dengan zaman Nabi ‘Isa As, Padahal perbedaan masa antara Nabi Ibrahim dan Nabi ‘Isa lebih dari 2.000 tahun. Dan yang nampak, Iskandar yang akhir ini dijuluki Dzulqarnain juga untuk menyamakannya dengan Iskandar yang pertama, dari sisi luasnya kerajaan dan kekuasaannya atas banyak negeri. Atau, ketika Iskandar yang kedua ini menaklukkan Persia serta membunuh raja mereka, maka dua kerajaan yang luas –Persia dan Romawi berada di bawah kekuasaannya, sehingga dia dijuluki dengan Dzulqarnain (yang memiliki dua tanduk).
Pernikahan menurut agama adalah sebuah proses pembentukan keluarga yang tidak dapat diselenggarakan diluar ketentuan. Pernikahan telah diatur secara jelas oleh ketentuan-ketentuan hukum Islam yang digali dari sumber-sumbernya baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah, hasil ijtihad dan pendapat para ulama.
Oleh karena itu bagi orang islam adalah suatu kemestian untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pernikahan yang ditunjuk oleh dalil-dalil yang jelas dan benar dalam hal kecil sekalipun.
Bagi seorang gadis tentu dia tidak pernah hamil, karena belum pernah kawin, yang menjadi persoalan adalah ternyata dia hamil, maka dapat dipastikan bahwa kehamilannya itu adalah hasil dari hubungan seksual di luar pernikahan. Akibatnya dengan berbagai pertimbangan dicoba untuk menutup-nutupinya, antara lain dengan melangsungkan pernikahan dengan laki-laki baik dengan orang yang menghamilinya, ataupun dengan laki-laki lain yang bersedia mengawininya.
Dalam ketentuan hukum islam, orang yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dihukumkan zina, jika wanita yang berbuat zina itu hamil maka para imam madzhab fiqih berbeda pendapat mengenai hukumnya, apakah wanita yang hamil itu boleh melangsungkan pernikahan dengan laki-laki ataukah tidak boleh. Ada diantara pendapat imam madzhab yang membolehkan wanita hamil itu melangsungkan pernikahan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain. Tetapi ada pula pendapat imam madzhab yang tidak membolehkan wanita yang hamil itu melangsungkan pernikahan.
Dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) pernikahan wanita hamil telah mendapat tempat pada bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2, dan 3. Serta membolehkan wanita hamil melangsungkan pernikahan dengan laki-laki lain.
Jika kawin hamil dilangsungkan, maka timbul persoalan lain, yaitu tentang status anak yang dikandungoleh wanita tersebut, apakah status nasab dihubungkan kepada ibunya ataukah kepada orang lain yang mengawininya.
Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut penyusun mencoba mengungkapkan pendapat-pendapat para imam madzhab dan Kompilasi Hukum Islam tentang pernikahan wanita hamil dengan laki-laki serta status anak yang dikandung oleh wanita tersebut. Bagaimana status pernikahan wanita hamil dalam pendapat imam madzhab;? Bagaimana korelai pendapat para imam madzhab dengan KHI tentang pernikahan wanita hamil;? Apa saja dalil yang dipergunakan dalam mendukung pendapatnya.
Adapun metode yang dipakai dalam penulisan adalah metode komparatif, yaitu membanding pendapat para imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi'I, dan Ahmad bin Hanbal) dan Kompilasi Hukum Islam, begitu pula dalil-dalil yang digunakan oleh para imam madzhab dalam mendukung pendapatnya.
B. Pernikahan Wanita Hamil Dalam Pendapat Para Imam Madzhab.
1. Status Pernikahan Wanita Hamil
Istilah perkawinan wanita hamil adalah pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikah atau masa iddah karena pernikahan yang sah dengan laki-aki yang mengakibatkan kehamilannya.
Mengenai ketentuan-ketentuan hukum pernikahan wanita hamil dalam pendapat para imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal), mereka berbeda pendapat, pada umumnya dapat dikelompokan kepada dua kelompok pendapat yaitu :
a. Imam Hanafi dan Imam Syafi'i mengatakan wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan pernikahan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain.
Menurut Imam Hanfi:
اما حبلى من زنا فانها لاعدة عليها. بل يجوز العقد عليها ولكن لا يحل وطءها حتّى تضع الحمل.
"Wanita hamil karrena zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh mengawininya, tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya."
Menurut Imam Syafi'i:
اما وطء الزنا فانه لا عدة فيه. ويحل التزويج باالحامل من زنا ووطءهم وهي الحامل على الاصح.2
"Hubungan seks karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam keadaan hamil."
Menurut mereka wanita zina itu tidak dikenakan ktentuan-ketentuan hukum pernikahan sebagaimana yang ditetapkan dalam nikah. Karena iddah itu hanya ditentukan untuk menghargai sperma yang ada dalam kandungan isteri dalam pernikahan yang sah. Sperma hasil dari hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh hukum.
Mereka beralasan dengan Al-Qur'an pada surah An-Nuur ayat 3:
الزن لا ينكح الا زانية او مشركة والزانية لا ينكحها الا زان او مشرك
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik."
Menurut imam Hanafi meskipun pernikahan wanita hamil dapat dilangsungkan dengan laki-laki, tetapi dia tidak boleh disetubuhi, sehingga bayi yang dalam kandungan itu lahir.
Ini didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
لا تواطء حامل حت تضع
“Janganlah kamu melakukan hubungan seks terhadap wanita hamil sampai dia melahirkan…”
Menurut Imam Syafi’I perkawinan wanita hamil itu dapat dilangsungkan dapat pula dilakukan persetubuhan dengannya. Ini didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad SAW.:
لها الصدق بها استحللت من فرجها والوالد عبد لك
“… Bagi dia maskawinnya, karena kamu telah meminta kehalalannya untuk mengumpulinya sedang anak itu hamba bagimu…”
Memperhatikan pendapat Asyafi’i, maka seorang wanita hamil karena hasil melakukan hubungan seks di luar nikah jika dia melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki, maka kehamilannya itu tidak mempengaruhi dengan pernikahannya.
Tetapi jika memperhatikan pendapat Imam Hanafi, meskipun boleh wanita hamil melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki, tetapi dia dilarang melakukan hubungan seksual. Dilarangnya wanita hamil melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang mengawininya, berarti kehamilannya mempengaruhi terhadap kelangsungan kehidupan rumah tangganya, sebagaimana layaknya orang yang nikah.
b. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya.
Menurut Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal sama halnya dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau kawin pasid, maka dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah.
Untuk mendukung pendapatnya, mereka mengemukakan alas an dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
لا يحل لامرئ يؤمن بالله واليوم الاخر ان يسقى ماءه زرع غيره يعني انبان الحبالى. ولا يحل لامرئ يؤمن بالله و اليوم الاخر ان يقع على امرأة من السى يستبرئها.
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang lain, yakni wanita-wanita tanaman yang hamil, tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan perang sampai menghabiskan istibra’nya (iddah) satu kali haidl.”
Mereka juga beralasan dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
لا تواطء حامل حت تضع ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة
“Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai haid satu kali.”
Imam Malik dan Imam ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan dari kedua hadits tersebut, bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Mereka memberlakukan secara umum, termasuk wanita hamil dari pekawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina.”
Adanya penentuan larangan pernikahan wanita hamil tersebut berawal dari pendapat mereka yaitu, wanita hamil karena zina tetap memiliki iddah, maka wanita hamil tidak boleh melangsungkan pernikahan sampai dia melahirkan kandungannya. Dengan demikian wanita hamil dilarang melangsungkan pernikahan.
Bahkan menuru Imam Ahmad bin Hanbal, wanita hamil karena zina harus bertaubat, baru dapat melangsungkan pernikahan dengan laki-laki yang mengawininya.
Dengan hadits tersebut, mereka berkesimpulan bahwa wanita hamil dilarang melangsungkan pernikahan, karena dia perlu beriddah sampai melahirkan kandungannya.
Pendapat imereka ini dapat dimengerti agar menghindari adanya pencampuran keturunan, yaitu keturunan yang punya bibit dan keturunan yang punya ibunya.
Oleh karena itu Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanabal memberlakukan iddah secara umum terhadap wanita hamil, apakah hamilnya itu karena pernikahan yang sah, ataukah kehamilannya itu akibat dari hubungan seksual di luar nikah. Dengan demikian, pernikahan wanita hamil dilarang.
2. Status Nasab Anak Dalam Perkawinan Wanita Hamil.
Adapun status nasab anak dari perkawinan wanita hamil, para Imam Madzhab berbeda pendapat:
a. Para Ulama sepakat bahwa anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayahnya, tetapi dinasabkan kepada ibunya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid
وانتفقى الجمهور على ان اولاد الزنا لا يلحقون بأبائهم الا فى الجهلية
“Ulama telah sepakat bahwa anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayahnya, kecuali yang terjadi di zaman jahiliyyah.”
Mereka beralasa kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
... الولد للفراش ...
….anak itu bagi yang melahirkan…
Kemudian Imam Syafi’i berpendapat, paling cepat umur kehamilannya itu adalah enam bulan, apabila perkainan telah lebih dari enam bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut mempunyai nasab kepada suaminya.
Sebaliknya apabila kurang dari enam bulan, maka nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa Imam Syafi’i berkata :
الى ان من تزوج امرأة و لم يدخل بها او دخل بها بعد الوقت واتت بولد لستة اشهر من وقت العقد لا من وقت الدخول انه لا يلحقوا به الا اذا اذا اتت به لسنة اشهر
“Siapapun yang kawin dengan seorang wanita dan belum mencampurinya atau telah mencapurinya sesudah akad, lalu wanita itu melahirkan anak setelah enam bulan dari waktu terjadinya kad bukan dari waktu terjadinya percampuran itu, maka anak tersebut tidak dipertalikan nasabnya kepada seorang laki-laki yang mengawininya, kecuali jika ibu itu melahirkan setelah lebih dari enam bulan.”
Pendapat tersebut, jika diperhatikan dengan pengertian dari pernikahan itu sendiri secara istilahi, yaitu nikah adalah akad penghalalan persetubuhan. Oleh karena itu konsekuensinya, jika seorang wanita ternyata sebelum akad dimaksud, maka kehamilan wanita tersebut tidak dihargai, bibit itu dapat milik laki-laki mana saja, sebab itu apabila anak itu lahir, dia tidak memiliki nasab kepada laki-laki, tetapi hanya memiliki nasab kepada ibunya.
Disamping alasan tersebut, jumhur ulama mengertikan lafadz al-firasy adalah wanita. Dengan demikian, perempuan yang berzina adalah pemilik nasab anak yang lahir dari perzinahan yang dilakukannya.
Terkecuali sebagimana pendapat Imam Syafi’i, jika bayi tersebut lahir setelah lebih dari enam bulan kehamilannya, maka bayi itu dinasabkan kepada suami yang mengawini ibunya. Dapat dimengerti, karena bayi yang lahirsetelah lebih dari enam bulan kehamilan, berarti anak tersebut belum memiliki bentuk manusia.
Imam Hanafi beralasan dengan memahami lafadz al-firazi yang berarti laki-laki (suami), maka hubungan nasab anak tersebut adalah dengan suami ibunya.
Disamping alasan tersebut, Imam Hanfi memahami pengertian lafadz “nikah” menurut hakiki adalah etubuh.
Memperhatikan pendapat Imam Hanafi tersebut, maka setiap anak yang lahir akan dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang memiliki bibit.
C. Pernikahan Wanita Hamil Dalam Pendapat Para Ulama dan Ahli Ilmu.
1. Ahmad Hasan
Dalam soal jawabnya ada satu pertanyan mengenai pernikahan wanita hamil, penyusun kutif sebagi berikut;
Soal : Seorang wanita brcampur dengan seorang laki-laki dengan tidak bernikah hinga hamil, maka bolhkah dikhawinkan sahaja wanita itu dengan laki-laki tersebut di dalam keadaan hamil itu?
Jawab : Di dalam urusan tersebut, tidak ada ayat Qur'an atau hadits yang sharieh (tegas). Lantaran itu ulama berselisih faham padanya.
Wanitta yang bercampur dengan seorang laki-laki itu, ada yang hamil dan ada yang tidak.
Tentang wanita yang hamil ini, sebahagian dari Ulama berkata tidak halal dikhawinkan dia, walaupun kepada laki-laki yang menghamilkan dia lantaran wanita yang hamil, tidak boleh dikhawinkan melainkan sesudah ia beranak, karena firman Allah :
3. perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(At-Thalaq : 4)
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasi ada riwayatkan di dalam Asy-Syarhu Kabier 7 : 502 satu hadiets yang ia katakanya shahieh, sabda Rasulullah s.a.w. :
لَا تُوْ طَأُ حَمِلٌ حَتَّى تَضَعَ
"Tidak boleh dicampuri wanita yang hamil, melainkan sesudah ia beranak."
Maqhsudnya , bahwa wanita yang bunting itu, ta boleh berkhawin , melainkan sesudah melahirkan kandungannya.
Diriwayatkan :
اَنَّ رَجُلَا تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَوَجَدَهَا حُبْلَى فَرَفَعَ ذَلِكَ اِلَى النَّبِيِّ ص. فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا . (ر. سعيد بن المسيّب)
" Seorang laki-laki berkhawin dengan seorang wanita, lantas ia dapati ia bunting, lalu ia mengadu kepada Nabi s.a.w. maka Nabi pisahkan antara mereka." (R. Saied Ibn Al-Musayyab)
Pihak yang membolehkan itu berkata, bahwa ayat, hadiets dan riwayat itu, semua adalah terhadap kepada wanita yang mengandung dari seorang lain, berkhawin kepada seorang lain. Jadi ta boleh disamakan dengan wanita yang berzina dengan seorang, lantas ia kawin dengan orang itu juga.
Ringkasnya pihak pertama memandang, wanita yang bunting itu, maupun bunting dari orang lain atau bunting dari orang itu sendiri, perlu tunggu habis iddah.
Pihak kedua berpendapat, bahwa wanita yyang dibuntingi oleh si A umpamanya, boleh berkhawin kepada si A itu juga, walaupun belum lepas iddah, lantaran pihak ini pandang, bahwa disuruh tunggu iddah itu, ialah supaya wanita itu bersih dari pada bekas orang lain, dan spaya nyaa anak itu kepunyaan siapa.
Adapun hal wanita berzina, lantas khawin kepada laki-laki yang membuntingkan dia itu, sudah memang anaknya.
Adapun wanita yang berzina dengan seseorang, lantas berkhawin denga dia juga sebelum kelihatan hamilnya itu, ada banyak ulama membolehkan, hingga ada diriwayatkan :
اَنَّ عُمَرَ ضَرَبَ رَجُلَا وَامْرَأَةً فِى الزِّنَا وَحَرَّصَ اَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَاَبَى الرَّجُلُ (المغنى)
" Sesungguhnya 'Umar pernah pukul (had zina) akan seorang laki-laki dan seorang wanita, lantaran berzina, dan 'Umar suruh mereka berkhawin tetapi si laki-laki tidak mau. (al-mughni)
Diriwayatkan :
اَنَّ رَجُلًا سَأَلَ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ نِكَاحِ الزَّانِيَةِ فَقَالَ : يَجُوْزُ اَرَاَيْتَ لَوْ سَرَقَ مِنْكَرْمٍ ثُمَّ ابْتَاعَهُ اَكَانَ يَجُوْزُ
" Sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas dari hal bernikah kepada wanita zina. Ia jawab : Boleh. Bagaimana fikiranmu, kalau seseorang ciru anggur, lantas ia beli anggur itu, bukankah boleh ? (al-mughni)
Maqshudnya, bahwa kalau seorang laki-laki campur dengan seorang wanita, dengan jalan tidak halal, lantas ia bernikah tentu boleh. Orang yang mau selamat dari perselisihan itu, sudah tentu lebih baik ia tunggu sampai wanita beranak, atau sampai ia haidh sekali, dan yang lebih baik lagi, ia haidh tiga kali.
D. Kesimpulan
Hukum Pernikahan wanita hamil ada dua macam :
1. Pernikahan Wanita hamil yang sudah berakad, ini pun terbagi kepada dua macam :
a. Karena ditinggal mati oleh suaminya. Hukumnya haram lihat al-Qur’an surat at-Thalaq : 4 mesti menunggu habis masa iddah sampai melahirkan bahkan sebaiknya sehabis 3 kali haidh.
b. Karena dithalaq oleh suaminya. Hukumnya sama dengan wanita hamil yang ditinggal mati, yaitu mesti menunggu habis masa iddah.
2. Pernikahan Wanita hamil dikarenakan berzina terlebih dahulu. Hukumnya sah, karena hamil diluar nikah tidak terikat oleh iddah. Karena iddah hanya berlaku bagi perempuan hamil yang telah berakad atau kawin. Sebagaimana terungkap dalam buku Tarbiyah An Nisa bahwa iddah ialah masa tempo bagi perempuan yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya untuk bisa kawin lagi. Begitu juga Ar-Raghib dalam Mu’jam Mufahrasnya.
Wanita yang hamil dari zina tidak mempunyai iddah, sehingga dia boleh dikawini oleh laki-laki yang berzina dengannya atau laki-laki lain dalam keadaan hamil.
Dasar pengambilan:
1. Kitab al-Madzahibul Arbaah juz 4 halaman 523
أمَّ وَطْءُ الزِّنَا فَإِنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءُهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعى.
Adapun wathi zina (hubungan seksual di luar nikah), maka sama sekali tidak ada iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari zina dan menyetubuhinya sedangakan di dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah menurut madzhab Syafii.
2. Kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 201
(مسألَة ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءٌ الزَّانِى أو غَيْرُهُ وَوَطْءُهَا حِينَئِذٍ مَعَ الكَرَاهَةِ.
(Masalah Syin) Boleh menikahi wanita hamil dari zina, baik oleh laki-laki yang berzina dengannya atau orang lain; dan boleh menyetubuhi waktu itu dengan hukum makruh.
E. DAFTAR PUSTAKA
- Syihab Quraish M, “Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2007.
- Hasan Ahmad, “Soal Jawab 1-2 Tentang berbagai masalah agama, CV. Divenegoro, Bandung, 2007.
- Ibnu Katsier, Tafsir Al-Quranul ‘Adzim, Maktabah As Syaqafi, Al- Ajhar, 2007
- A. Zakaria, Tarbiyan An Nisaa, Azka, Garut, 2003
- Al-Asfahani Ar-Raghib, Mu’jam Mufradat fi alfadzil Qur’an, Darul Fikr, Beirut Lebanon.
Al-Quran tidak akan mengikuti hipotesis-hipotesis manusia, tetapi hasil penelitian ilmiah manusia harus mengikuti alqur’an. Jika suatu penilaian ilmiah tertentu selaras dengan penjelasan al-Qur’an, hal ini akan merupakan kebanggaan dan kenikmatan yang besar bagi para peneliti …. Tetapi, jika hasil penelitian mereka tidak sesuai dengan al-Qur’an, maka mereka harus melanjutkan penelitiannya”. (Ahmad Khan, dikemukakan oleh Parvez dalam karyanya Ma’arif al-Qur’an)
Pengantar.
Studi terhadap al-Qur’an dan tafsir berikut metodologinya sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunnya al-Qur’an hingga sekarang. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (waqa’i) yang tak terbatas. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an itu shalihin li kulli zaman wa makan (al-Qur’an itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat). Karenanya, sebagaimana dikatakan Muhammad Syahrur, al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia. Kebutuhan manusia akan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi oleh manusia mengharuskan mereka untuk mengorek lebih dalam jawaban yang disediakan oleh al-Qur’an.
Tak terkecuali dalam konteks ranah bumi pertiwi yang merupakan mayoritas beragama Islam. Bersamaan dengan proses awal masuknya Islam di Nusantara, kitab Suci al-Qur’an diperkenalkan para juru dakwah itu kepada penduduk pribumi di Nusantara. Pengenalan awal terhadap al-Qur’an itu, bagi penyebar Islam tentu suatu hal yang penting, karena al-Qur’an adalah Kitab Suci agama Islam yang diimani sebagai pedoman hidup bagi orang yang telah memeluk Islam. Adalah tidak bisa ditolak, keharusan memahami isi al-Qur’an bila ingin menjadi muslim yang baik. Kenyataan ini dikuatkan dengan munculnya kitab-kitab tafsir yang merupakan hasil karya anak-anak negeri, baik pada masa klasik seperti tafsir Tarjuman Al-Qur’an yang ditulis oleh ‘Abdul Ra’uf al-Sinkili (1615-1693 M) lengkap 30 juz, maupun akhir abad 20 seperti tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, tafsir al-Furqon oleh A. Hassan sampai tafsir al-Mishbah yang ditulis oleh Quraish Shihab.
Terseraknya berbagai hasil penelitian yang mengungkapkan literatur di Nusantara seputar kajian al-Qur’an, menunjukkan bahwa sejak semula umat Islam di Indonesia mempunyai perhatian besar terhadap al-Qur’an; mulai hal pengajaran tata cara membaca al-Qur’an yang baik sesuai dengan ilmu tajwid, hingga kajian-kajian mendalam mengenai kandungan al-Qur’an. Al-Qur’an menempati kedudukan penting di dalam sejarah pergumulan awal Muslim Indonesia. Di pelbagai pondok pesantren, madrasah, dan sekolah, telah memposisikan al-Qur’an menjadi salah satu materi penting – disamping fiqh, bahasa, dan teologi (kalam)- dengan ilmu-ilmu yang terkait, seperti ulumul qur’an dan ulumut tafsir.
Di Era sekarang, kajian seputar al-Qur’an yang diusung oleh anak-anak negeri dengan pendekatan yang berbeda satu sama lain terus dilakukan, kenyataan ini semakin memperkaya khazanah keilmuan di bumi pertiwi ini, baik yang dikemas melalui penerbitan buku, buletin ataupun kolom-kolom yang khusus disediakan oleh surat kabar tertentu yang berbicara seputar kajian al-Qur’an dan tafsirnya. Salah satu diantaranya adalah surat kabar harian Republika yang menyertakan suplemen tambahan dengan judul Tabloid Republika Dialog Jum’at yang terbit tiap hari jum’at. Dalam tabloid tersebut terdapat kolom “Iqra” yang khusus mengupas al-Qur’an dengan pendekatan tafsirnya. Terlepas dari apakah itu ditujukan untuk menaikkan oplah dikarenakan pangsa pasar muslim yang cukup menjanjikan ataukah murni mencerdaskan masyarakat, yang jelas ini merupakan hasil karya anak bangsa yang berhak untuk diapresiasikan dan memperkaya literatur kajian Sejarah Tafsir di Indonesia. Makalah ini hadir mencoba untuk meneliti kolom “Iqra” yang dihadirkan dalam Tabloid Republika Dialog Jum’at tersebut dengan memakai pisau analisis disiplin ilmu tafsir melalui penelitian seputar unsur metode yang dipergunakan, unsur sumber serta pendekatan yang mendominasi setiap pembahasan dan juga relasi/ aplikasi metodologi penafsirannya. Pada kesempatan ini, penulis membatasi kajian penelitian ini cukup dengan 8 edisi saja, sesuai dengan bahan yang penulis dapatkan, yaitu edisi 3 November 2006/ 11 Syawal 1427 H, edisi 6 Oktober 2006 M, edisi 1 Desember 2006/ 10 Dzulqa’dah 1427 H, edisi 15 Desember 2006/ 24 Dzulqa’dah 1427 H, edisi 23 Februari 2006/ 5 Shafar 1428 H, edisi 9 Maret 2006/ 19 shafar 1428 H, edisi 16 Maret 2007/ 26 Shafar 1428 H, edisi 23 Maret 2007/ 4 Rabiul Awal 1428 H. Sekalipun tidak berurutan, mudah-mudahan cukup mewakili dari tulisan-tulisan sebelumnya.
Analisis Kajian.
Dalam Tabloid Republika Dialog Jum’at edisi 3 November 2006/ 11 Syawal 1427 H, edisi 6 Oktober 2006 M, edisi 1 Desember 2006/ 10 Dzulqa’dah 1427 H, edisi 15 Desember 2006/ 24 Dzulqa’dah 1427 H secara bersambung menurunkan tulisan kajian tentang Jejak-jejak Bangsa Terdahulu. Pada edisi 3 November 2006 mengisahkan tentang Bencana yang menimpa Fir’aun dan kaumnya dikarenakan ingkar kepada Allah dan mendustakan kenabian Musa As. Tanpa menentukan ayat yang menjadi fakus kajian, tulisan dalam edisi tersebut menceritakan secara naratif kisah kehancuran Fir’aun dengan mengutip Qs. Al-A’raf (7): 132, kemudian masih pada surat yang sama dalam ayat 130 untuk lebih menguatkan argumentasi, juga dikutip Qs. Az-zukhruf (43): 51 dan mengambil dari kitab kaum Nasrani, Perjanjian Lama, tepatnya dalam Keluaran, 7:21. Ditinjau dari metode yang dipergunakan, tulisan pada edisi ini lebih pada metode ijmali. Ini terlihat dari penuturan yang cukup singkat dan global, juga hanya menampilkan bagian terjemah, tanpa mementingkan aspek asbabun nuzul, kemudian diakhiri dengan perumusan pokok-pokok kandungan dari ayat-ayat yang dikaji. Pendekatan secara tekstual sangat kentara sekali dengan mempergunakan sistematika penyajian secara tematik (maudlu’i). Jika diteliti lebih mendalam, teori-teori standar yang sudah digariskan oleh para ulama tafsir tidak menjadi acuan pokok, baik tentang munasabah bainal ayat awis surah, aspek asbabun nuzul, juga kajian riwayah. Sumber primer tulisan tersebut adalah hasil dari saduran tulisan Harun Yahya pada www.harunyahya.com.
Pada edisi 6 Oktober 2006 yang mengisahkan perjalanan Ashabul Kahfi tatkala melarikan diri dari kejaran Raja Kafir yang zhalim, dengan menurunkan tulisan dengan judul ‘Apakah para penghuni gua ada di Tarsus?’. Hampir sama dengan analisis untuk tulisan edisi 3 November di atas, hanya disini rujukan sumber data ada pada pendapat ahli-ahli tafsir seperti ath-Thabari, Fakhrudin ar-Razi, juga dalam tafsir Baidlawi dan an-Nasafi ketika meyakinkan argumentasi bahwa gua tempat Ashabul Kahfi pernah hidup terletak di sebuah gunung yang dikenal sebagai Encilus atau Bencilus, di Barat Laut Tarsus.
Pada edisi 1 Desember 2006 dengan menurunkan judul ‘Kota yang dijungkirbalikkan (2), Ada apa dengan struktur Danau Luth’, tanpa menampilkan satu pun ayat yang menjadi fokus kajian, tulisan tersebut adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya yang belum terlacak oleh saya (Peneliti, penj). Tulisan pada edisi ini merupakan hasil olahan dari penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan tentang kondisi danau Luth yang kisahnya dapat kita temukan dalam al-Qur’an dengan mengacu dari sumber www.harunyahya.com.
Sedangkan pada edisi 15 Desember 2006 yang menutup rangkaian kisah ‘Jejak-jejak Bangsa Terdahulu’ dengan judul ‘Pelajaran bagi Kita’ menampilkan Qs. Ar-Ruum (30): 9 sebagai refleksi kajian al-Qur’an dalam menyikapi fenomena masyarakat sekarang yang tidak jauh berbeda dengan umat terdahulu. Dengan model gaya bahasa yang menempatkan bahasa sebagai medium komunikasi dengan karakter kebersahajaan menjadikan makna moral ataupun sosial yang terkandung dalam ayat lebih mudah untuk dipahami seperti terlihat dalam tulisan “semua kaum yang telah kita pelajari sebelumnya telah dibinasakan melalui berbagai bencana alam seperti gempa bumi, badai, banjir, dan sebagainya. Sama halnya, kaum-kaum yang sesat dan berani melakukan tindakan pelanggaran seperti kaum-kaum terdahulu juga akan dihukum dengan cara yang sama”. Sama dengan yang di atas, aplikasi metodologi penafsiran tidak terlalu menonjol.
Kemudian pada edisi 23 Februari 2007, 9 Maret 2007, 16 Maret 2007 dan 23 Maret 2007, Dialog Jum’at berturut-turut menampilkan tulisan tentang keajaiban al-Qur’an yang mengupas ayat al-Qur’an dengan metode ijmali tetapi melalui pendekatan tafsir ilmi (ilmiyah), yaitu suatu pemahaman atas teks al-Qur’an dengan menggunakan data hasil observasi ilmiah sebagai variabel penjelas. Usaha menjelaskan ayat al-Qur’an dengan metode ilmiah ini bisa dipahami, mengingat dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak isyarat ilmiah. Ini dapat kita lihat tatkala menjelaskan tafsir Qs. An-Najm (53): 49 pada edisi 23 Februari 2007 dengan judul ‘Bintang Sirius (Syi’ra), “Kenyataan bahwa kata Arab Syi’raa, yang merupakan padan kata bintang Sirius, muncul hanya di surat an-Najm ayat ke-49 secara khusus sangatlah menarik. Sebab, dengan mempertimbangkan ketidakberaturan dalam pergerakan bintang Sirius, yakni bintang paling terang di langit malam hari, sebagai titik awal, para ilmuwan menemukan bahwa ini adalah sebuah bintang ganda….Namun, kenyataan ilmiah ini, yang ketelitiannya hanya dapat diketahui di akhir abad ke-20, secara menakjubkan telah diisyaratkan dalam al-Qur’an 1.400 tahun yang lalu, yaitu melalui ayat ke-9 dalam surat yang sama ”…maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)”.
Pada edisi 9 Maret 2007 dengan judul ‘Air Susu Ibu’, tulisan pada edisi kali ini mengutip Qs. Lukman (31): 14 “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”. Pada alinea ke-6 ditulis, ‘salah satu hal yang menyebabkan ASI sangat dibutuhkan bagi pekembangan bayi yang baru lahir adalah kandungan minyak omega-3 asam linoleat alfa. Selain sebagai zat penting bagi otak dan retina manusia, minyak tersebut juga sangat penting bagi bayi yang baru lahir’. Sedangkan pada edisi 16 Maret 2007 dengan judul ‘Kekuatan Petir’ lebih banyak mengeksplorasi temuan ilmiah seputar kekuatan dan kedahsyatan petir dari pada pengelaborasian kajian tafsir dalam arti aplikasi metode penafsiran. Kemudian pada edisi 23 Maret 2007 dengan judul ‘Lebah Madu’ menampilkan kajian Qs. An-Nahl (16) : 68-69, “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan tempat-tempat yang dibikin manusia”, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia…”. Tulisan edisi kali ini juga tidak berbeda jauh dengan tulisan pada edisi sebelumnya, pemaparan temuan ilmiah seputar rahasia kehidupan lebah serta manfaat madu mendominasi tulisan ini dari pada kajian metodologi tafsir.
Penutup.
Secara global, dari hasil penelitian terhadap sebanyak 8 edisi yang dimuat dalam kolom ‘Iqra’ pada Tabloid Republika Dialog Jum’at masing-masing edisi 3 November 2006/ 11 Syawal 1427 H, edisi 6 Oktober 2006 M, edisi 1 Desember 2006/ 10 Dzulqa’dah 1427 H, edisi 15 Desember 2006/ 24 Dzulqa’dah 1427 H, edisi 23 Februari 2006/ 5 Shafar 1428 H, edisi 9 Maret 2006/ 19 shafar 1428 H, edisi 16 Maret 2007/ 26 Shafar 1428 H, edisi 23 Maret 2007/ 4 Rabiul Awal 1428 H dapat disimpulkan bahwa metode yang dipergunakan adalah metode ijmali (global) yang hampir secara keseluruhan menjadikan sumber dirayah sebagai rujukannya. Pada metode tafsir dengan menempatkan penemuan sains ilmiah sebagai variable utama untuk menjelaskan pengertian dari suatu ayat. Model tafsir macam ini setidaknya memuat dua hal. Pertama, menjadikan teks al-Qur’an sebagai alat justifikasi bahwa al-Qur’an nyata telah memberi isyarat mengenai ilmu sains, teknologi dan seterusnya. Kedua, penemuan sains ilmiah dijadikan variabel penguat bahwa al-Qur’an memanglah ilmiah. Dalam konteks ini muncul problem krusial: bagaimana bila teori ilmiah yang dijadikan penjelas, tadinya diyakini final dan berkesesuaian dengan al-Qur’an, ternyata mengalami anomali dan tidak valid lagi. Sebab, penemuan ilmiah tidak saja terus berkembang, tapi juga berubah. Posisi teks al-Qur’an pun tentu akan menjadi kehilangan relevansinya. Namun, betapapun harus dicatat bahwa al-Qur’an bukanlah buku sains ataupun teknik. Oleh karena itu, menafsirkan al-Qur’an bukanlah untuk memenuhi kebutuhan actual dan teknik, melainkan berupaya berdialog dengannya untuk melihat bagaimana pandangan-pandangannya.
Kajian tafsir yang dimuat pada Tabloid Republika Dialog Jum’at pada kolom ‘Iqra’ akan menjadi lebih berbobot apabila dilengkapi dengan kajian dan aplikasi metodologi penafsiran, sehingga para pembaca akan mendapatkan nilai plus dari tulisan tersebut. Selain hasil-hasil penemuan ilmiah yang berhasil menguak kebenaran al-Qur’an yang diturunkan jauh sebelum manusia mengenal metode observasi lapangan, juga materi-materi Ulum al-Qur’an dan Ulum al-Tafsir yang menjadi pondasi bangunan sebuah tafsir dari ayat-ayat Ilahi tersebut.
Wallahu A’lam Bishowab.
Referensi.
1. Al-Qur’an Buku yang menyesatkan dan buku yang mencerahkan, editor : May Rachmawatie dan Yudhie R Haryono, PT. Gugus Press Bekasi 2002 M.
2. Khazanah Tafsir Indonesia, Islah Gusmian, Teraju Jakarta 2003 M.
3. Studi Al-Qur’an Kontemporer, editor : Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, PT. Tiara Wacana Yogyakarta 2002 M.
MUHAMMAD BIN ISMAIL DAN KITAB JAMI’NYA
Hari, dan Tanggal lahir : Jumat 13 Syawwal 194 H
Tempat Lahir : Bukhara
Hari dan tanggal wafat : Jumat 1 Syawwal 255 H
BIOGRAFI PENTING MUHAMMAD BIN ISMAIL
Muhammad bin Ismail lebih familiar dipanggil Bukhari, pada usia 10 tahun beliau sudah hafal kitab-kitab ibn Mubarak, Waki’ dan mengetahui pendapat mereka. Beliau menunaikan haji pada usia 16 tahun bersama ibu dan saudaranya yang bernama Ahmad.
Setelah menunaikan Haji beliau tidak mau pulang tetapi bersikeras ingin tinggal di mekkah untuk menuntut ilmu. Tatkala usianya 18 tahun beliau telah menyusun kitab Qadlaya Shahabat dan Tabi’in di Mekkah kemudian kitab Tarikh sewaktu di Madinah.
Konsentrasi Bukhari terhadap kajian hadits lebih disebabkan oleh dukungan dan usaha ayahnya sendiri. Beliau melakukan study tour ke berbagai Negri untuk mencari hadits lebih dari 1080 orang ahli hadits. Menurut pengakuan Muhammad Bin hamdawiyah bahwa Bukhari pernah berkata “Saya Hafal 100.000 hadits yang sohih dan 200.000 hadits palsu. Oleh karena ilmunya yang mapan Bukhari banyak melahirkan karya-karya penting diantaranya :
Jamius Shahih
Qadlaya Shahabat Dan Tabi’in
Tarikhul Kabir Wa Ausath Wa Shagir
Jamiul Kabir
Musnad Kabir
Tafsir Kabir
Dlu’afa
Kitabul Hibbah
Kitabul Asyabah
Usamash Shahabah
Khalqu Af’al Ibad
Adabul Mufrad
Raf’ul Yadain Fi Shalat
Qiraatu Khalfa Imam
Birrul Walidain
MENGENAL JAMIUS SHAHIH
Latar Belakang Lahirnya Jamius Shahih
- Bukhari mendapatkan kitab-kitab hadits yang masih mencantumkan hadits lemah
- Adanya dorongan dari gurunya yang bernama ishaq bin Ibrahim Handlali (amirul mukminin hadits)
- Mimpi bertemu dengan Nabi (riwayat Muhammad bin Sulaiman)
Sebelum menulis hadits beliau melakukan Shalat istikharah terlebih dahulu. Beliau juga tidak sembarangan menerima hadits dari semua orang. Beliau menerima hadits dari orang yang memiliki keimanan kuat dan keimanannya itu terlihat dalam prilaku sehari-hari.
JUMLAH HADITS DI DALAM KITAB JAMIUS SHAHIH
Hadits marfu’ maushul yang diulang
7397
Hadits marfu muallaq yang diulang
1341
Hadits muttabi’ yang berbeda riwayat
344
Total
9082
Hadits marfu’ maushul tanpa diulang
2602
Hadits marfu muallaq tanpa diulang
159
Total
2761
RAHASIA DIBALIK PENGULANGAN HADITS
- Pengulangan kesatu, dua, ketiga dan seterusnya memiliki perowi yang berbeda-beda
- Pengulangan tersebut menunjukan bahwa hadits yang ditulis memiliki banyak jalur isnad
- Memiliki banyak periwayatan dengan jalur isnad yang berbeda menunjukan kelebihan hafalan
- Satu hadits di dua tempat dengan dengan menggunakan satu jalur isnad hanya ada 23 hadits.
- Dilihat dari segi matan dalam beristimbath hokum diperlukan pengumpulan hadits dari berbagai riwayat
- Sebagai penguat hujjah.
SYARAT ISNAD IMAM BUKHARI
1. perowi yang meriwayatkan dari awal hingga akhir harus tsiqoh dan tidak diperselisihkan
2. isnadnya harus bersambung dari rawi pertama, kedua hingga akhir
3. jika periwayatannya dari dua sahabat atau lebih itu lebih bagus
4. jika periwayatannya hanya diriwayatkan seorang rawi maka telah mencukupi asalkan jalannya benar
PERBEDAAN ISNAD BUKHARI DAN MUSLIM :
Bukhari : Rawi harus bertemu dan sejaman
Muslim : Rawi harus sejaman tanpa harus bertemu.
KELEBIHAN BUKHARI DALAM BIDANG HADITS
1. Rawi yang dijadikan sandaran bukhari dan tidak dijadikan sandaran oleh Muslim sebanyak 430 rawi. 80 diantaranya lemah.
Rawi yang dijadikan sandaran Muslim dan tidak dijadikan sandaran oleh Bukhari sebanyak 620 rawi. 160 diantaranya lemah.
2. para perowi yang dinilai lemah tersebut tidak banyak meriwayatkan hadits. Dan rawi yang lemah itu sendiri diantaranya adalah gurunya bukhari.
3. bertemunya seorang rawi dengan rawi yang haditsnya diriwayatkan sekalipun hanya sekali, bagi bukhari merupakan syarat sedangkan bagi Muslim tidak demikian.
4. hadits “Ali yang hanya 3 orang rawi terdapat 22 hadits. Jumlah tersebut termasuk hadits yang diulang sedangkan yang tidak 16 hadits.
Contoh hadits Janazah yang langsung dishalatkan nabi karena tidak memiliki tanggungan
Nabi
Salamah bin al akwa
Yazid bin abi Ubaid
Abu ‘Ashim an Nabil
Bukhari
16 Nov 2008
Muhammad Yasin
disampaikan pada pengajian remaja
Penjelasan beberapa Istilah hadits yang digunakan oleh imam at-Tirmidzi
Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
yang dimaksud oleh at-Tirmidzi dengan istilah “hasan shahih”, “hasan gharib” serta “ini adalah hadits gharib”
istilah hasan shahih merupakan masalah yang sangat pelik, karena para ulama banyak berselisih dalam masalah ini. Dan kami belum menemukan sejauh yang kami ketahui mengenai pendapat pasti yang bisa dijadikan sebagai sandaran. Ini disebabkan karena at-Tirmidzi sendiri tidak menjelaskan apa yang ia maksud dengan istilah hasan shahih tersebut.
Adapun istilah hadits hasan gharib tidak sama dengan istilah hadits hasan. Yang dimaksud dengan hadits hasan gharib adalah hasan (bagus) secara sanad dan gharib (asing) disebabkan karena salah seorang perawinya menyendiri, baik menyendiri secara mutlak maupun secara nisbi.
Adapun istilah hadits hasan dan at-Tirmidzi tidak menambahkan lafazh gharib sesudahnya, maka yang ia maksudkan adalah hadits hasan li ghairi (hadits yang pada asalnya dhaif, namun kemudian menjadi hasan karena terdapat riwayat lain yang dapat menaikkan derajat hadits tersebut sehingga menjadi hasan –pent).
Oleh sebab itu wajib bagi penuntut ilmu untuk waspada dalam masalah ini; yaitu bahwa setiap hadits yang dikatakan oleh imam at-Tirmidzi hadits hasan maka isnadnya adalah dhaif, dan ia menganggapnya hasan. Karena ia mengetahui bahwa hadits ini mempunyai mutaba’at (penyerta) dan Syawahid (penguat), yang akhirnya derajatnya naik dari dhaif menjadi hasan. Maksudnya dhaif dari segi sanad tetapi hasan dari segi matan (isi hadits) yang merupakan konsekuensi dari matannya, disebabkan kedatangannya melalui jalan-jalan yang lain.
Adapun jika ia berkata hadits gharib maka kebanyakan yang ia maksudkan adalah dhaif yaitu secara sanad.
Sumber : Majmu’ah Fatawa al-Madina Al-Munawwarah. [ina: Ensiklopedi Fatwa-Fatwa Albany. Penerjemah : Adni Kurniawan. Pustaka At Tauhid. Jakarta. 2002 M. Hal. 49-50]
portege181.wordpress.com
Dalam sejarah perkembangannya, ajaran kaum sufi dapat dibedakan ke dalam beberapa periode, yang setiap periode mempunyai karekteristik masing-masing. Periode tersebut adalah (1) abad pertama dan kedua hijriah (2) abad ketiga dan keempat Hijriah, (3) abad kelima Hijriah dan (4) abad keenam dan seterusnya. Sebelum kita menguraikan sejarah singkat tokoh-tokoh sufi dan pokok0pokok ajaran mereka, pada bagian ini akan diuraikan karekteristik umum ajaran kaum sufi pada setiap periode tersebut.
Kalau kita lihat uraian pada bab diatas, tampak bahwa ajaran kaum sufi pada abad pertama dan kedua bercorak akhlaki, yakni pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwa dan raga dari pengaruh-pengaruh duniawi. Dengan kata lain, ajaran mereka mengajak kaum muslimin untuk hidup zuhud sebagaimana yang diajrakan dan diperaktekan oleh NAbi saw dan para sahabat besar. Dalam hubungan ini. Al-Taftazani meringkaskan bahwa ajaran zuhud padamasa ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Ajaran zuhud berdasarkan ide untuk menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab mereka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran Al Quran dan As Sunnah serta terkena dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
2. Ajaran zuhun bersifat praktis dan para pendidrinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip-prinsip teoritis atas ajarannya itu. Sedang sarana-sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesedarhanaan, sedikit makan dan minum, banyak beribadah dan mengingat Allah, merasa sangat berdosa, tunduk secara total kepada kehendak Allah dan berserah diri kepada nya. Dengan demikian, ajaran zuhud ini mengarah kepada pembinaan moral.
3. Motivasi lainnya hidup zuhud ini adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sedang pada khir abad ke dua hijriah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyyah, munsul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap azabnya maupun rasa harap terhadap pahalanya.
4. Ajaran zuhud yang disampaikan oleh sebagian kaum zuhud pada periode terakhir, khususnya di Khurasan, dan pada Rabi’ah al Adawiyah, ditandai kedalaman membuat analisis yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf. Kelompok ini sekalipun dekat dengan tasawuf, tidak dipandang sebagai parasufi dalam pengertiannnya yang sempurna. Mereka lebih tepat dipandang sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat hijriah.
Kalau kita kembali membuka lembaran sejarah ternyata bahwa sejak abad ke 2 H ada keteganagan yang serius anatara para zahid atau sufi yang lazim disebut ulama batin dengan para ulama yang tidak menjalani tasawuf, terutama dengan para fuqaha dan mutakalimin yang lazim disebut ulama dzahir. Keteganagan-keteganagan ini, tampaknya, disebabakan anatara lain :
1. Adanya orang yang berpura-pura bertasawuf. Hal ini mungkin untuk mencari keuntung-keuntungan pribadi
2. Adanya orang-orang awam yang mungkin mengaku sebagai orang yang bertasawuf, tapi mengabaikan kewajiban-kewajiban syari’at agama.
3. Adanya orang-orang yang menyembunyikan kesufian / kesucian dirinya dengan dengan melakukan perbuatan tidak terlarang, tapi rendah nilainya agar mereka dicela orang.
4. Adanya pernyataan-pernyataan yang aneh kedengarannya yang muncul dari lidah beberapa sufi terkemuka dan berpengaruh, seperti dari Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj.
5. Adanya anggapan ‘ulama batin lebih utama dari ‘ulama zahir.s
TOKOH-TOKOH SUFI ABAD PERTAMA
1. Hasan Al Basri
Nama lengkapnya al Hasan bin Ai al Hasan Abu Sa’id. Dia dilahirkan di Madinah pada tahun 221 Hijriah/642 Masehi dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H/728 M. ia adalah putra Zaid bin Tasabit, seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretris Nabi Muhammad Saw. Ia memperoleh pendidikan di Basrah. Ia sempat bertemu dengan sahabat-sahabt Nabi, termasuk tujuh puluh di antara mereka adalah yang turut serta dalam perang Badr.
Ibunya adalah hamba sahaya Ummu Salamah, istri Nabi. Ia tumbuh dalam lingkungan orang saleh yang mendalam pengetahuan agamanya.
Hasan Al Basri tumbuh menjadi seorang tokoh diantara tokoh-tokoh yang paling terkemuka pada zamannya, dan ia termashur karena kesalehan dan keberaniannya. Secara blak-blakkan ia membenci sikap kalangan atas yang hidup berpoya-poya. Sementara teolog-teolog dari kalangan muktazilah memandang Hasan sebagai pendiri mashabnya Amr bin Ubaid dan Wasil bin Atha adalah dua di antara murid-muridnya. Sedangkan dalam jajaran sufi, ia diakui sebagai salah satu tokoh yang paling besar pada masa awal sejarahnya. Ia dikenal juga sebagai orator piawai sehingga berbagai kata dan ungkapan yang disampaikannya, banyak dikutip oleh pengarang-pengarang Arab dan tidak sedikit di anatara surat-suratnya yang masih dapat kita saksikan hingga sekarang dan terpelihara rapi.
Hasan Al Basri adalah seorang zahid yang termasyhur di kalangan tabi’in. prinsip ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan sunnah Nabi, bahkan beliaulah yang mula-mula memperbincangakan berbagai masalah yang berkaitan dengan hidup kerohanian, tenang ilmu akhlak yang erat hubungannya dengan cara mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela.
Dasar pendirian HasanAl Basri adalah hidup zuhud terhadap dunia, menolak segala kemegahan, hanya semata menuju kepada Allah, tawakal, khauf dan raja’. Janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah. Tetapi ikutilah ketakutan dengan pengharapan. Takut akan murkanya, tetapi mengaharp akan rahmatnya.
Al Taftazani mengatakan konsep zuhud Hasan Al Basri berdasarkan rasa takut yang mendalam kepada Allah Swt. Mengenai hal ini, Al Sya’rani dalam kitabnya At Tabaqat berkata : “ Dia penuh diliputi rasa takut sehingga neraka seakan di ciptakan untuk dirinya seorang” sedang Ibn Abi Al Hadid dalam Nahj Al Balagah menulis sebagai berikut : “jika seorang menemui Hasan Al Basri, dia pasti mengira Hasan sedang tertimpa suatu musibah. Hal ini karena rasa sedih dan rasa takutnya.”
Kemudian ucapan-ucapan beliau yang lain, sebagaimana di kutip Prof.Dr.Hamka, adalah sebagai berikut :
- “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik dari pada perasaan tentrammu dari pada kemudian menimbulkan takut”
- “Tafakur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, membawa kepada meninggalkannya. Barang yang fana walaupun bagaimana banayaknya, tidaklah dapat menyamai barang yang baqa, walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negri yang cepat dating dan cepat pergi ini, dan penuh dengan tipuan”
- “Dunia ini adalah seorang perempuan janda tua yang telah bongkok”
- “Orang yang beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka cita di waktu sore. Karena dia hidup diantara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah lampau, apakah gerangan balasana yang akan ditmpakan Tuhan. Dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan bahaya yang sedang mengancam
- “Patutlah orang Insyaf bahwa mati sedang mengancamnya dan kiamat menagih janjinya.”
- “Banyak berduka cita di dunia memperteguh semangat beramal saleh.
Dalam hubungan ini Dr Muhammad Mustafa Helmi, sebagai mana dikutip Prof. Dr. hamka, mengatakan bahwa zuhud beliau itu, yang didasarkan kepada takut, ialah karena takut akan siksaaan Tuhan dalam Neraka. Tetapi setelah di telaah lebih dalam, kata Hamka, ternyata bukanlah takut akan neraka itu yang menjadi sebab. Yang menjadi sebab ialah perasaan dari orang yang berjiwa besar akan kekuranagn dan kelalaian diri. Itulah sebabnya lebih tepat dikatakan bahwa dasar zuhud Hasan Al Basri bukanlah takut akan amsuk neraka, tetapi takut akan murka Tuhan. Dalam hal seperti ini, orang kadang-kadang bersikaf, biarlah masuk neraka, dari pada kena murka.
2. Ibrahim Bin Adham
Namanya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di balkh dari keluarga bangsawan Arab. Dalam legenda sufi, ia dikatakan sebagai seorang pengeran yang meninggalkan kerajaannya, lalu mengembara kea rah Barat untuk menjalani hidup sebagai seorang petapa sambil mencari nafkah yang halal hingga meninggal di negri Persia kira-kira pada tahun 160H/777 M. beberapa sumber mengatakan bahwa Ibrahim terbenuh ketika mengikuti angkatan laut yang menyerang Bizantium.
Ibrahim Bin adham adalah seorang zahid di Khurasan yang sangat menonjol di zamanya. Kendatipun ia putra seorang raja dan pengeran kerajaan Balkh, menurut Nicholson, dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang di bawahinya. Dia lebih suka memakai baju bulu domba yang kasar dan mengarahkan pandanganya ke negri Syam (Syiria), dimana ia hidup sebagai penjaga kebun dan kerja kasar yang lainnnya. Suatu ketika ia ditanay: “Mengapa anda menjauhi orang banyak?” Dia menjawab : “Kupegang teguhagama didadaku. Dengannya : aku lari satu negri ke negri yang lain, dari bumu yang kutinggalkan menuju bumi yang kudatangi. Setiap orang yang melihatku menyangka aku seorang pengembala atau orang gila. Hal ini aku lakukan dengan harapan aku bisa memeliohara kehidupan beragamaku dari godaan setan dan menjaga keimananku, sehingga selamat sampai ke pintu gerbang kematia.
Kemudian diantara ucapan-ucapannya, dia pernah mengatakan : “ketahuilah, kamu tidak akan bisa mencapai peringkat orang-orang saleh kecuali setelah kamu melewati enam pos penjagaan. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang kenikmatan dan membuka pintu gerbang kesulitan, hendaklah kamu menutup gerbang kemusyrikan dan membuka pintu gerbang kehinaan, Hendaklah kamu menutup pintu gerbang pintu santai dan membuka pintu gerbang kerja keras, hendaklah kamu menutup pintu gerbang tidur dan membuka pintu gerbang jaga malam, hendaklah kamu menutup pintu gerbang kekayaan dan membuka pintu gerbang kemiskinan, dan hendaklah kamu menutup pintu gerbang cita-cita dan membuka pintu gerbang kesiapan menghadapi mati.”
3. Sufyan Al Sauri
Nama nya adalah Abu Abdullah Sufyan bin Sa’id bin Masruq al Sauri Al Khufi. Dia dilahirkan di Kufah pada tahun 97 H/715 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 161 H/778 M. dia adalah seorang tabi’in pilihan dari seorang zahid yang jarang ada tandingannnya, bahkan merupakan seorang ulama hadis yang terkenal, sehingga dalam merawikan hadis, dia dijuluki amir al mu’min dalam hadis. Dan dia adlah salah seorang dari ulama mujahidin yang mempunyai mashab sendiri. Menurut riwayat, Abu Al Qasim Al Junaid mengikuti mashab beliau. Dan mashabnya bisa bertahan selama dua abad.
Sufyan Al Sauri sempat berguru kepada Hasan Al Basri, sehingga fatwa-fata gurunya tersebut banyak mempengaruhi jalan hidupnya. Karena itu, hidup kerohaniannyamenjurus kepada hidup yang bersahaja, penuh kesederhanaan, tidak terpukau dengan kemegahan dan kemewahan duniawi. Dia menyampaikan ajaran agama kepada murid-muridnya. Pernah menasihatkan kepada murid-muridnya agar jangan terpengaruh oleh kemewahan dan kemegahan duniawi, jangan suka menjilat kepada raja-raja dan penguasa, muru’ah harus dijaga dan dipelihara sebaik-baiknya, dan jangan sampai mengemis-ngemis pada penguasa.
Sufyan al Tsauri termasuk zahid yang sangat berani, tidak takut dibunuh dalam mengemukakan kritik terhadap penguasa, beliau sangat mencela kehidupan para penguasa yang bergelimang dalam kemewahan, hidup berfoya-foya dengan kekayaan Negara yang diperolehdari hasil ekspansi dan kemajuan islam, sementara masih banyak rakyat yang hidup dalam kemelaratan. Beliau dengan lantang memberi nasihat kepada umat islam agar jangan mengikuti kehidupan mereka yang telah rusak moralnya itu, yang jauh dari ajaran Nabi saw dan para sahabat. Diantara ucapan-ucapannya dan memberi nasihat itu ialah “supaya jangan merusak agamamu” Contoh lain tentang sikap zuhud, kerendahan hati dan ketidakpedulian beliau terhadap atribut-atribut duniawi, beliau menolak/ melarikan diri dari al Mahdi ketika khalifah itu hendak mengangkatnya sebagai hakim agung.
5. Rabi’ah al Adawiyah
Nama lengkapnya ialah Ummu al-Khair Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah. Informasi tentang biografinya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya bercorak mitos. Dia lahir di Bashrah pada tahun 96 H / 713 M, lalu hidup sebagai hamba sahaya keluarga Atik. Dia berasal dari keluarga miskin, dan dari kecil ia tinggal di kota kelahirannya. Dikota ini namanya sangat harum sebagai manusia suci dan sangat dihormati oleh orang-orang shaleh semasanya. Menurut sebuah riwayat dia meninggal pada tahun 185 H / 801 M. Orang-orang mengatakan bahwa dia dikuburkan didekat kota Jerussalem.
Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dipandang mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta (al-hubb) khas sufi kedalammistisisme dalam islam. Sebagai seorang zahidah, dia selalu menampik setiap lamaran beberapa pria shaleh.
Diantara ucapannya yang terkenal tentang zuhud ialah – sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya al-Kasyf al-Mahjub :
“suatau ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada Rabi’ah : ‘ Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu! ‘Rabi’ah menjawab : ‘aku ini begitu malu memenita hal-hal duniawi kepada pemeliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepda orang yang bukan pemiliknya?”
Seperti telah disinggung diatas, isi pokok ajaran tasawuf Rabi’ah adalah tentang cinta. Karena itu, ia mengabdi melakukan amal soleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi akan cintanya kepada Allah,. Cintanya lyang mendorongnya yang inggin selalu dekat dengan Allah, dan cinta itu pulalah yang embuat ia sedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya. Pendek kata, Allah baginya merupakan dzat yang dicintai, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Karena seluruh lorong hatinya telah di penuhi cinta ilahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci yang lain. Seseorang pernah bertanya kepadanya : “ Apakah kau benci kepada setan?” Ia menjawab : “ Tidak, cinta ku kepada Tuhan tidak meninggalklan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada setan.” Karena begitu cintanya kepda Tuhan, Ia pernah ditanaya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad Saw ia menjawab : “ saya cinta kepada Nabi, tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cintaku kepada makhluk.”
Inilah beberapa ucapan rasa cinta yang diunghkapkan oleh Rabi’ah Al Adawiah. Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwa nya, sehingga – seperti telah disebutkan diatas – ia menolak seluruh tawaran kawin denagan alasan bahwa dirinya adalah milik Allah, yang dicintainya; dan siapa yang ingin kawin dengannya haruslah meminta ijin kepada Allah. Dengan demikian, menurut Altaftazani, dapat disimpulkan bahawa Rabi’ah Al Adawiah, pada abad 2 H, telah merintis konsep zuhud dalam islam berdasarkan cinta kepada Allah. Tetapi, ia tidak hanay berbicara cinta ilahi, namun juga menguraikan ajaran-ajaran taswuf yang lain, seperti konsep zuhud, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, tobat, ridho dan lain sebagainya.