SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS (STAIPI)

MEDIA DAKWAH DAN ILMU PENGETAHUAN

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

4.20.2010

Hukum Menikahi Wanita Hamil

Diposting oleh aLumNUs BalZ

Pernikahan menurut agama adalah sebuah proses pembentukan keluarga yang tidak dapat diselenggarakan diluar ketentuan. Pernikahan telah diatur secara jelas oleh ketentuan-ketentuan hukum Islam yang digali dari sumber-sumbernya baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah, hasil ijtihad dan pendapat para ulama.

Oleh karena itu bagi orang islam adalah suatu kemestian untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pernikahan yang ditunjuk oleh dalil-dalil yang jelas dan benar dalam hal kecil sekalipun.
Bagi seorang gadis tentu dia tidak pernah hamil, karena belum pernah kawin, yang menjadi persoalan adalah ternyata dia hamil, maka dapat dipastikan bahwa kehamilannya itu adalah hasil dari hubungan seksual di luar pernikahan. Akibatnya dengan berbagai pertimbangan dicoba untuk menutup-nutupinya, antara lain dengan melangsungkan pernikahan dengan laki-laki baik dengan orang yang menghamilinya, ataupun dengan laki-laki lain yang bersedia mengawininya.
Dalam ketentuan hukum islam, orang yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dihukumkan zina, jika wanita yang berbuat zina itu hamil maka para imam madzhab fiqih berbeda pendapat mengenai hukumnya, apakah wanita yang hamil itu boleh melangsungkan pernikahan dengan laki-laki ataukah tidak boleh. Ada diantara pendapat imam madzhab yang membolehkan wanita hamil itu melangsungkan pernikahan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain. Tetapi ada pula pendapat imam madzhab yang tidak membolehkan wanita yang hamil itu melangsungkan pernikahan.
Dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) pernikahan wanita hamil telah mendapat tempat pada bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2, dan 3. Serta membolehkan wanita hamil melangsungkan pernikahan dengan laki-laki lain.
Jika kawin hamil dilangsungkan, maka timbul persoalan lain, yaitu tentang status anak yang dikandungoleh wanita tersebut, apakah status nasab dihubungkan kepada ibunya ataukah kepada orang lain yang mengawininya.
Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut penyusun mencoba mengungkapkan pendapat-pendapat para imam madzhab dan Kompilasi Hukum Islam tentang pernikahan wanita hamil dengan laki-laki serta status anak yang dikandung oleh wanita tersebut. Bagaimana status pernikahan wanita hamil dalam pendapat imam madzhab;? Bagaimana korelai pendapat para imam madzhab dengan KHI tentang pernikahan wanita hamil;? Apa saja dalil yang dipergunakan dalam mendukung pendapatnya.
Adapun metode yang dipakai dalam penulisan adalah metode komparatif, yaitu membanding pendapat para imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi'I, dan Ahmad bin Hanbal) dan Kompilasi Hukum Islam, begitu pula dalil-dalil yang digunakan oleh para imam madzhab dalam mendukung pendapatnya.
B. Pernikahan Wanita Hamil Dalam Pendapat Para Imam Madzhab.

1. Status Pernikahan Wanita Hamil
Istilah perkawinan wanita hamil adalah pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikah atau masa iddah karena pernikahan yang sah dengan laki-aki yang mengakibatkan kehamilannya.
Mengenai ketentuan-ketentuan hukum pernikahan wanita hamil dalam pendapat para imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal), mereka berbeda pendapat, pada umumnya dapat dikelompokan kepada dua kelompok pendapat yaitu :

a. Imam Hanafi dan Imam Syafi'i mengatakan wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan pernikahan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain.
Menurut Imam Hanfi:
اما حبلى من زنا فانها لاعدة عليها. بل يجوز العقد عليها ولكن لا يحل وطءها حتّى تضع الحمل.
"Wanita hamil karrena zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh mengawininya, tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya."

Menurut Imam Syafi'i:
اما وطء الزنا فانه لا عدة فيه. ويحل التزويج باالحامل من زنا ووطءهم وهي الحامل على الاصح.2
"Hubungan seks karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam keadaan hamil."
Menurut mereka wanita zina itu tidak dikenakan ktentuan-ketentuan hukum pernikahan sebagaimana yang ditetapkan dalam nikah. Karena iddah itu hanya ditentukan untuk menghargai sperma yang ada dalam kandungan isteri dalam pernikahan yang sah. Sperma hasil dari hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh hukum.
Mereka beralasan dengan Al-Qur'an pada surah An-Nuur ayat 3:
الزن لا ينكح الا زانية او مشركة والزانية لا ينكحها الا زان او مشرك
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik."

Menurut imam Hanafi meskipun pernikahan wanita hamil dapat dilangsungkan dengan laki-laki, tetapi dia tidak boleh disetubuhi, sehingga bayi yang dalam kandungan itu lahir.
Ini didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
لا تواطء حامل حت تضع
“Janganlah kamu melakukan hubungan seks terhadap wanita hamil sampai dia melahirkan…”
Menurut Imam Syafi’I perkawinan wanita hamil itu dapat dilangsungkan dapat pula dilakukan persetubuhan dengannya. Ini didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad SAW.:
لها الصدق بها استحللت من فرجها والوالد عبد لك
“… Bagi dia maskawinnya, karena kamu telah meminta kehalalannya untuk mengumpulinya sedang anak itu hamba bagimu…”
Memperhatikan pendapat Asyafi’i, maka seorang wanita hamil karena hasil melakukan hubungan seks di luar nikah jika dia melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki, maka kehamilannya itu tidak mempengaruhi dengan pernikahannya.
Tetapi jika memperhatikan pendapat Imam Hanafi, meskipun boleh wanita hamil melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki, tetapi dia dilarang melakukan hubungan seksual. Dilarangnya wanita hamil melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang mengawininya, berarti kehamilannya mempengaruhi terhadap kelangsungan kehidupan rumah tangganya, sebagaimana layaknya orang yang nikah.
b. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya.
Menurut Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal sama halnya dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau kawin pasid, maka dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah.
Untuk mendukung pendapatnya, mereka mengemukakan alas an dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
لا يحل لامرئ يؤمن بالله واليوم الاخر ان يسقى ماءه زرع غيره يعني انبان الحبالى. ولا يحل لامرئ يؤمن بالله و اليوم الاخر ان يقع على امرأة من السى يستبرئها.

“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang lain, yakni wanita-wanita tanaman yang hamil, tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan perang sampai menghabiskan istibra’nya (iddah) satu kali haidl.”

Mereka juga beralasan dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
لا تواطء حامل حت تضع ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة
“Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai haid satu kali.”

Imam Malik dan Imam ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan dari kedua hadits tersebut, bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Mereka memberlakukan secara umum, termasuk wanita hamil dari pekawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina.”
Adanya penentuan larangan pernikahan wanita hamil tersebut berawal dari pendapat mereka yaitu, wanita hamil karena zina tetap memiliki iddah, maka wanita hamil tidak boleh melangsungkan pernikahan sampai dia melahirkan kandungannya. Dengan demikian wanita hamil dilarang melangsungkan pernikahan.

Bahkan menuru Imam Ahmad bin Hanbal, wanita hamil karena zina harus bertaubat, baru dapat melangsungkan pernikahan dengan laki-laki yang mengawininya.
Dengan hadits tersebut, mereka berkesimpulan bahwa wanita hamil dilarang melangsungkan pernikahan, karena dia perlu beriddah sampai melahirkan kandungannya.
Pendapat imereka ini dapat dimengerti agar menghindari adanya pencampuran keturunan, yaitu keturunan yang punya bibit dan keturunan yang punya ibunya.
Oleh karena itu Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanabal memberlakukan iddah secara umum terhadap wanita hamil, apakah hamilnya itu karena pernikahan yang sah, ataukah kehamilannya itu akibat dari hubungan seksual di luar nikah. Dengan demikian, pernikahan wanita hamil dilarang.

2. Status Nasab Anak Dalam Perkawinan Wanita Hamil.
Adapun status nasab anak dari perkawinan wanita hamil, para Imam Madzhab berbeda pendapat:

a. Para Ulama sepakat bahwa anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayahnya, tetapi dinasabkan kepada ibunya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid
وانتفقى الجمهور على ان اولاد الزنا لا يلحقون بأبائهم الا فى الجهلية
“Ulama telah sepakat bahwa anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayahnya, kecuali yang terjadi di zaman jahiliyyah.”

Mereka beralasa kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
... الولد للفراش ...

….anak itu bagi yang melahirkan…

Kemudian Imam Syafi’i berpendapat, paling cepat umur kehamilannya itu adalah enam bulan, apabila perkainan telah lebih dari enam bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut mempunyai nasab kepada suaminya.
Sebaliknya apabila kurang dari enam bulan, maka nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa Imam Syafi’i berkata :

الى ان من تزوج امرأة و لم يدخل بها او دخل بها بعد الوقت واتت بولد لستة اشهر من وقت العقد لا من وقت الدخول انه لا يلحقوا به الا اذا اذا اتت به لسنة اشهر

“Siapapun yang kawin dengan seorang wanita dan belum mencampurinya atau telah mencapurinya sesudah akad, lalu wanita itu melahirkan anak setelah enam bulan dari waktu terjadinya kad bukan dari waktu terjadinya percampuran itu, maka anak tersebut tidak dipertalikan nasabnya kepada seorang laki-laki yang mengawininya, kecuali jika ibu itu melahirkan setelah lebih dari enam bulan.”

Pendapat tersebut, jika diperhatikan dengan pengertian dari pernikahan itu sendiri secara istilahi, yaitu nikah adalah akad penghalalan persetubuhan. Oleh karena itu konsekuensinya, jika seorang wanita ternyata sebelum akad dimaksud, maka kehamilan wanita tersebut tidak dihargai, bibit itu dapat milik laki-laki mana saja, sebab itu apabila anak itu lahir, dia tidak memiliki nasab kepada laki-laki, tetapi hanya memiliki nasab kepada ibunya.
Disamping alasan tersebut, jumhur ulama mengertikan lafadz al-firasy adalah wanita. Dengan demikian, perempuan yang berzina adalah pemilik nasab anak yang lahir dari perzinahan yang dilakukannya.
Terkecuali sebagimana pendapat Imam Syafi’i, jika bayi tersebut lahir setelah lebih dari enam bulan kehamilannya, maka bayi itu dinasabkan kepada suami yang mengawini ibunya. Dapat dimengerti, karena bayi yang lahirsetelah lebih dari enam bulan kehamilan, berarti anak tersebut belum memiliki bentuk manusia.
Imam Hanafi beralasan dengan memahami lafadz al-firazi yang berarti laki-laki (suami), maka hubungan nasab anak tersebut adalah dengan suami ibunya.
Disamping alasan tersebut, Imam Hanfi memahami pengertian lafadz “nikah” menurut hakiki adalah etubuh.
Memperhatikan pendapat Imam Hanafi tersebut, maka setiap anak yang lahir akan dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang memiliki bibit.

C. Pernikahan Wanita Hamil Dalam Pendapat Para Ulama dan Ahli Ilmu.

1. Ahmad Hasan
Dalam soal jawabnya ada satu pertanyan mengenai pernikahan wanita hamil, penyusun kutif sebagi berikut;
Soal : Seorang wanita brcampur dengan seorang laki-laki dengan tidak bernikah hinga hamil, maka bolhkah dikhawinkan sahaja wanita itu dengan laki-laki tersebut di dalam keadaan hamil itu?
Jawab : Di dalam urusan tersebut, tidak ada ayat Qur'an atau hadits yang sharieh (tegas). Lantaran itu ulama berselisih faham padanya.
Wanitta yang bercampur dengan seorang laki-laki itu, ada yang hamil dan ada yang tidak.
Tentang wanita yang hamil ini, sebahagian dari Ulama berkata tidak halal dikhawinkan dia, walaupun kepada laki-laki yang menghamilkan dia lantaran wanita yang hamil, tidak boleh dikhawinkan melainkan sesudah ia beranak, karena firman Allah :
                
3. perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(At-Thalaq : 4)

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasi ada riwayatkan di dalam Asy-Syarhu Kabier 7 : 502 satu hadiets yang ia katakanya shahieh, sabda Rasulullah s.a.w. :
لَا تُوْ طَأُ حَمِلٌ حَتَّى تَضَعَ
"Tidak boleh dicampuri wanita yang hamil, melainkan sesudah ia beranak."

Maqhsudnya , bahwa wanita yang bunting itu, ta boleh berkhawin , melainkan sesudah melahirkan kandungannya.
Diriwayatkan :
اَنَّ رَجُلَا تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَوَجَدَهَا حُبْلَى فَرَفَعَ ذَلِكَ اِلَى النَّبِيِّ ص. فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا . (ر. سعيد بن المسيّب)
" Seorang laki-laki berkhawin dengan seorang wanita, lantas ia dapati ia bunting, lalu ia mengadu kepada Nabi s.a.w. maka Nabi pisahkan antara mereka." (R. Saied Ibn Al-Musayyab)

Pihak yang membolehkan itu berkata, bahwa ayat, hadiets dan riwayat itu, semua adalah terhadap kepada wanita yang mengandung dari seorang lain, berkhawin kepada seorang lain. Jadi ta boleh disamakan dengan wanita yang berzina dengan seorang, lantas ia kawin dengan orang itu juga.
Ringkasnya pihak pertama memandang, wanita yang bunting itu, maupun bunting dari orang lain atau bunting dari orang itu sendiri, perlu tunggu habis iddah.
Pihak kedua berpendapat, bahwa wanita yyang dibuntingi oleh si A umpamanya, boleh berkhawin kepada si A itu juga, walaupun belum lepas iddah, lantaran pihak ini pandang, bahwa disuruh tunggu iddah itu, ialah supaya wanita itu bersih dari pada bekas orang lain, dan spaya nyaa anak itu kepunyaan siapa.
Adapun hal wanita berzina, lantas khawin kepada laki-laki yang membuntingkan dia itu, sudah memang anaknya.
Adapun wanita yang berzina dengan seseorang, lantas berkhawin denga dia juga sebelum kelihatan hamilnya itu, ada banyak ulama membolehkan, hingga ada diriwayatkan :
اَنَّ عُمَرَ ضَرَبَ رَجُلَا وَامْرَأَةً فِى الزِّنَا وَحَرَّصَ اَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَاَبَى الرَّجُلُ (المغنى)
" Sesungguhnya 'Umar pernah pukul (had zina) akan seorang laki-laki dan seorang wanita, lantaran berzina, dan 'Umar suruh mereka berkhawin tetapi si laki-laki tidak mau. (al-mughni)
Diriwayatkan :
اَنَّ رَجُلًا سَأَلَ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ نِكَاحِ الزَّانِيَةِ فَقَالَ : يَجُوْزُ اَرَاَيْتَ لَوْ سَرَقَ مِنْكَرْمٍ ثُمَّ ابْتَاعَهُ اَكَانَ يَجُوْزُ
" Sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas dari hal bernikah kepada wanita zina. Ia jawab : Boleh. Bagaimana fikiranmu, kalau seseorang ciru anggur, lantas ia beli anggur itu, bukankah boleh ? (al-mughni)

Maqshudnya, bahwa kalau seorang laki-laki campur dengan seorang wanita, dengan jalan tidak halal, lantas ia bernikah tentu boleh. Orang yang mau selamat dari perselisihan itu, sudah tentu lebih baik ia tunggu sampai wanita beranak, atau sampai ia haidh sekali, dan yang lebih baik lagi, ia haidh tiga kali.








D. Kesimpulan
Hukum Pernikahan wanita hamil ada dua macam :
1. Pernikahan Wanita hamil yang sudah berakad, ini pun terbagi kepada dua macam :
a. Karena ditinggal mati oleh suaminya. Hukumnya haram lihat al-Qur’an surat at-Thalaq : 4 mesti menunggu habis masa iddah sampai melahirkan bahkan sebaiknya sehabis 3 kali haidh.
b. Karena dithalaq oleh suaminya. Hukumnya sama dengan wanita hamil yang ditinggal mati, yaitu mesti menunggu habis masa iddah.
2. Pernikahan Wanita hamil dikarenakan berzina terlebih dahulu. Hukumnya sah, karena hamil diluar nikah tidak terikat oleh iddah. Karena iddah hanya berlaku bagi perempuan hamil yang telah berakad atau kawin. Sebagaimana terungkap dalam buku Tarbiyah An Nisa bahwa iddah ialah masa tempo bagi perempuan yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya untuk bisa kawin lagi. Begitu juga Ar-Raghib dalam Mu’jam Mufahrasnya.
Wanita yang hamil dari zina tidak mempunyai iddah, sehingga dia boleh dikawini oleh laki-laki yang berzina dengannya atau laki-laki lain dalam keadaan hamil.
Dasar pengambilan:
1. Kitab al-Madzahibul Arbaah juz 4 halaman 523
أمَّ وَطْءُ الزِّنَا فَإِنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءُهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعى.
Adapun wathi zina (hubungan seksual di luar nikah), maka sama sekali tidak ada iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari zina dan menyetubuhinya sedangakan di dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah menurut madzhab Syafii.
2. Kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 201
(مسألَة ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءٌ الزَّانِى أو غَيْرُهُ وَوَطْءُهَا حِينَئِذٍ مَعَ الكَرَاهَةِ.
(Masalah Syin) Boleh menikahi wanita hamil dari zina, baik oleh laki-laki yang berzina dengannya atau orang lain; dan boleh menyetubuhi waktu itu dengan hukum makruh.


E. DAFTAR PUSTAKA
- Syihab Quraish M, “Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2007.
- Hasan Ahmad, “Soal Jawab 1-2 Tentang berbagai masalah agama, CV. Divenegoro, Bandung, 2007.
- Ibnu Katsier, Tafsir Al-Quranul ‘Adzim, Maktabah As Syaqafi, Al- Ajhar, 2007
- A. Zakaria, Tarbiyan An Nisaa, Azka, Garut, 2003
- Al-Asfahani Ar-Raghib, Mu’jam Mufradat fi alfadzil Qur’an, Darul Fikr, Beirut Lebanon.


0 komentar:

Posting Komentar