SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS (STAIPI)

MEDIA DAKWAH DAN ILMU PENGETAHUAN

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

4.22.2010

TIKRAR DALAM AL-QUR'AN

Diposting oleh aLumNUs BalZ

Al Qur’an tidak hanya sebuah sumber ilmu, petunjuk dan inspirasi kebenaran yang tak pernah kering dan habis. Tetapi disaat yang sama, Al-Qur’an adalah sumber segala kebahagiaan sejati. Hanya saja ada sebuah persoalan rumit yang selalu menjadi sebab kita tidak pernah mendapatkan itu semua, keengganan kita untuk mengkaji untaian isinya yang diturnkan oleh Allah untuk kita semua. Kita tak pernah berhasil benar dalam meraih puncak ilmu, petunjuk dan kebahagian, karena kita leih terasing dari kitab yang mulia ini, kita tidak pernah benar-benar seperti yang dikatakan oleh seorang sehabat Nabi, “ Bacalah Al-Qur’an seolah ia baru diturunkan saat ini untukmu.” Mak tidak mengherankan jika kita pun seperti yang dikatan oleh Utsman r.a, “Jika saja hati kalian suci, maka ia tidak akan pernah kenyang dan puas dengan kalamullah

Memahami Pengulangan Tikrar
Salah satu kriteria yang dijadikan untuk menilai fasih atau tidaknya perkataan seseorang di kalangan bangsa arab, ialah bentuk pengulangan kata ataupun kalimat yang sama dalam satu waktu. Apa pengertian bahasan kita kali ini? Tikrar. Demikian sebutan akrabnya dalam kaedah bahasa. Tikrar berasal dari kata karra yang berarti kembali, mengulangi atau menyambung. Imam Jauhari menegaskan hal yang sama yaitu, arti kata karra ialah mengulangi suatu hal atau perbuatan tertentu. Sedangkan pengertian tikrar dalam istilah, ialah mengulangi satu kata atau kalimat yang sama beberapa kali karena bebarapa alasan, diantaranya dengan tujuan penegasan (tawkid), memberi peringatan atau menggambarkan agungnya sebuah hal tertentu. Para ulama bahasa membagi tikrar menjadi dua macam, yang pertama tikrar yang pola pengulangannya terdapat pada ejaan dan makna kata sekaligus, atau mengulang satu kata yang bermakna sama. Seperti jika seseorang mengatakan kata perintah asri’ asri’ !(cepat-cepat!). Satu kata tersebut diulang dengan makna dan ejaan yang tidak berbeda sama sekali. Tikrar yang kedua yaitu apabila pengulangan hanya pada makna saja, sedangkan ejaan katanya tidak sama. Misalnya, athi’ni wa la tu’shini! (taati dan jangan kau langgar aku!). coba cermati, dua kata ini meski berbeda, yang satu menggunakan kata athi’ni dan satunya lagi la tu’shini, akan tetapi kedua makna tersebut tetap saja sama, sehingga jika ada seseorang mengatakan jangan langgar aku, berarti ia juga memerintahkan untuk mentaatinya. Dirasa ilmu ini cukup penting dalam kajian bahasa, tulis imam Jakhidz , salah seorang ulama bahasa yang hidup di masa dinasti Abbasiyah, dalam kitabnya Rasail Al Jakhidz (Catatan-catatan Jakhidz), menjelaskan kapasitas dan derajat keilmuan seseorang bisa dilihat diantaranya dengan cara mengamati, sejauhmanakah ia mampu menggunakan bentuk pengulangan dalam pembicaraannya. Apa kaitannya dengan bahasan ilmu Alquran kali ini Mengenai apakah terdapat pola pengulangan dalam Al Quran atau tidak, para ulama berselisih pandang. Bagi mereka yang menafikan, atas dalih apapun pengulangan kata itu tetap saja tidak berfaedah, hal ini tentunya tidak berlaku untuk Kalam Allah, dan kalaupun toh pengulangan kata didapati dalam Al Quran, makna kata tersebut berbeda. Sedangkan sebagian yang lain, berpendapat keberadaan pola pengulangan tidak dapat dipungkiri. Kenyataannya, justru pola tikrar yang ada dalam Al Quran menunjukkan apiknya susunan bahasa yang dimiliki Al Quran. Sebagai dalil, sejumlah ulama telah mendata beberapa kata yang diulang-ulang dalam Al Quran, seperti imam Suyuthi, Ibnu Jauzy, Kurmani dan lain sebagainya. Bahkan dari mereka ada yang menggolongkan pola ini ke dalam ayat-ayat samar (mutasyabihat). Sebagai contoh, salah satu rujukan masa kini yang bisa digunakan untuk meneliti sejumlah kata yang diulang-ulang dalam Al Quran ialah Al Mu’jam Al Mufahras Li Al Tarakib Al Mutyabihah Lafdzon Fil Quranil Karim (Kamus Susunan Kata-Kata Yang Serupa Dalam Al Quran), karangan Dr. Muhammad Zaki Muhammad Khidir, Dosen di Universitas Yordania. Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, bahasan kali ini bukanlah untuk menjelaskan ada atau tidaknya tikrar apalagi terlibat jauh dalam perdebatan, melainkan mempelajari beberepa pola pengulangan dan makna yang terkandung didalamnya.
Jenis Pola Tikrar Fungsi Dan Maknanya Jika dicermati bentuk tikrar dalam Al Quran bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, pengulangan hanya terbatas pada makna saja, sedangkan lafalnya berbeda, dan yang kedua tikrar pada kedua-duanya lafal dan makna sekaligus. Bentuk yang pertama seperti pengulangan kisah-kisah nabi, ayat-ayat yang menggambarkan siksa dan nikmat di akherat, hari kebangkitan, dan ayat-ayat yang mengisahkan penciptaan langit dan bumi dan alam semesta. Meski masih menceritakan satu hal, lafal pada sejumlah ayat tersebut tidak sama persis. Barangkali akan muncul pertanyaan, jika seandainya ayat-ayat tersebut bisa dipahami hanya dengan sekali, mengapa harus diulang-ulang berapa kali? Justru disinilah menariknya. Ibnu Qutaibah menjelaskan Al Quran diturunkan dalam kurun waktu yang tidak singkat, tentunya keberagamaan kabilah yang ada di komunitas arab waktu itu cukuplah banyak, sehingga jika ayat tersebut tidak diulang-ulang, bisa jadi kisah-kisah teladan nabi Musa As, Isa As, Nuh As, Luth As dan sebagainya, hanya akan diterima oleh kaum tertentu, jadi dengan pengulangan tersebut setiap kaum dengan mudah memperolehnya, sehingga makna yang hendak disampaikan bisa ditangkap oleh semua kalangan. Kemudian bentuk tikrar yang kedua dalam Al Quran dapat dibagi menjadi dua, pertama apabila pengulangan kata masih terdapat dalam satu ayat, seperti ayat : “haihaata-haihaata lima tuu’adun” QS. Al Mukminun (23) : 36 dan yang kedua tikrar yang lafalnya diulang pada ayat yang berbeda dan terpisah. Seperti ayat : “ wa inna robbuka lahuwal Azizul Hakiim”. QS. AS Syu’araa’ (26) : 9, kalimat ini diulangi sebanyak 8 kali dalam surat yang sama yaitu AS Syu’araa. Selain contoh pengulangan dalam satu surat di atas, terdapat lafal yang diulang-ulang dalam surat yang berbeda-beda, seperti : “ wayaquuluuna mataa hadzal wa’du inkuntum shodiqin”, lafal ini akan kita dapati di tiga surat yang saling terpisah, yaitu QS. AN Naml (27) : 71, QS. Yaasin (36) : 43, dan QS. Al Mulk (67) : 25.


Faedah Pengulangan Dalam Al Quran Berdasarkan analisa imam zarkasyi dalam kitabnya “Al Burhan”, ada beberapa faedah yang bisa disimpulkan dari pola tikrar dalam Al Quran, diantaranya yang pertama penegasan atau penguatan (ta’kid) . Bahkan apabila dicermati, nilai penekanan yang dikandung pola takrir setingkat lebih kuat dibanding bentuk ta’kid. Keunggulan pola takrir ini disinyalir karena takrir mengulang kata yang sama, sehingga makna yang dimaksudkan akan lebih mengena. Lain halnya dengan pola ta’kid yang dalam penerapannya lebih sering menggunakan huruf atau perangkat yang mengindikasikan penegasan makna yang terkandung. Sebagaimana contoh berikut : “Hai maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)”. QS. Ali Imran (3) : 42. Kedua kata yang dicetak tebal, sama-sama menggunakan lafal isthafaaki yang diulang dua kali, dengan tujuan agar keistimewaan yang ada pada Maryam semakin jelas dan menjadi bukti atas kesucian yang ia miliki. Faedah yang kedua ٍpola takrir berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat sebuah peringatan, sehingga kata-kata tersebut bisa dipahami dan diterima. Misalnya, pengulangan kata ya qoumi (Hai kaumku ) pada kedua ayat yang berdekatan dan maknanya saling berkaitan : “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara)”. َQS. Al Mukmin (42) : 38-39. Fungsi pola takrir yang ketiga, untuk menghindari sikap lupa yang disebabkan kalimat tertentu terlalu panjang, sehingga jika sebuah kata tidak diulangi, dikhawatirkan kata yang berada di awal akan terlupakan. Seperti pengulangan kata Inna Rabbaka (Sesungguhnya Tuhan mu) pada QS. An Nahl (16) : 110. Kemudian yang keempat untuk lebih mengambarkan agungnya sebuah perkara, atau sebuah mengisahkan jika betapa sebuah peristiwa itu sungguh menakutkan. Sebagaimana pemberitaan tentang hari kiamat pada ayat : “al haaqqotu mal haaqoh”. QS. Al Haaqah (69) : 1-2. Selanjutnya faedah yang kelima, pola takrir ditempatkan sebagai ancaman dan intimidasi, seperti yang terdapat dalam ayat : “kallaa saufa ta’lamun tsumma kallaa saufa ta’lamun”. QS. AT Takaatsur (102) : 3-4. Ancaman tersebut diulang dua kali seakan mengatakan kepada orang yang lalai, hendaknya ia segera bertaubat, karena sejatinya ia tidak akan mengetahui sebesar apakah balasan siksa yang kelak ia tanggung. Pengulangan dalam Al Quran begitu sempurna. Dan menariknya, bentuk takrir dalam kondisi tertentu, senantiasa mempertimbangkan dan menyesuaikan karakter manusia yang amat beragam. Walhasil, tidaklah kebatilan itu didapati dalam Al Quran Kapan dan bagaimanapun. Maha Suci Allah Dengan Segala Firman Nya. Allahul Hadi Ila Sawaissabil
Adapun pembagian Tikrar terbagi menjadi dua bagian :
1. Tikrar Lafdi
2. Tikrar Ma’nawi
Tikrar Lafdi adalah pengulangan redaksi ayat di dalam Al-Qur’an baik berupa huruf-hurufnya ataupun susunan kalimatnya dengan tujuan tertentu. Tikrar ini di dalam Al Qur’an memiliki beberapa bentuk :
1. Tikrar Isim
Penyebutan Kata Benda Isim Dua Kali
Pengulangan dua kali sebuah isim memiliki empat kemungkinan :
1. Keduanya Ma’rifah
2. Keduanya Nakirah
3. Yang Pertama Ma’rifah sedang yang kedua nakirah
4. Yang pertama nakirah sedang yang kedua ma’rifah
1. Jika keduanya ma’rifah, maka pada umumnya yang isim kedua adalah yang pertama. Contohnya,
2. Sebliknya jika keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya :
Yang dimaksud “dha’f’ (kelemahan) pertama adalah sperma, “dha’f’ kedua thufuliyah (masa bayi), sedang “dha’f’ yang ketiga syaikhukhah (orang tua atau lanjut usia). Kedua macam ini pada ayat,
Dalam satu riwayat, Ibnu Abbasmengomentari ayat ini, “ satu ‘usr (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua yusr (kemudahan). Karena kata usr’ yang kedua diulangi dengan al ma’rifah, maka ‘usr’ yang pertama. Adapun kata yusr yang kedua bukan yusr yang pertama karena ia diulangi tanpa ‘al.”

3. Jika yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah maka yang kedua itu adalah yang pertama, karena sudah diketahui. Misalnya dalam ayat

4. Jika yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah, maka tergantung pada qarinahnya, terkadang qarinahnya (Indikasi) itu menunjukan bahwa keduanya itu berbeda, seperti :
Terkadang Qarinah itu menunjukan bahwa keduanya sama, seperti :
2. Tikrar Fiil adalah pengulangan redaksi ayat baik yang berbentuk kata kerja atau fiil
Contoh :

3. Tikrar Hurf adalah pengulangan ayat dalam Al-Qur’an berupa idiem-idiem susunan
kalimat (huruf dari 1 s.d beberapa huruf), Contoh :

4. Tikrar dengan nama orang adalah pengulangan ayat dalam Al-Qur’an berupa nama-
nama orang di dalam Al-Qur’an, Contoh :
5. Tikrar Surat adalah pengulangan ayat di dalam Al-Qur’an berupa huruf Muqataah di
bebera surat-surat, Contoh :
6. Tikrar Tasbih
Contoh :
7. Tikrar Ta’kid
Contoh :
8. Tikrar na’at atau sifat
Contoh :
9. Tikrar Athaf
Contoh :
10. Tikrar Jumlah
Contoh :
11. Tikrar Badal
Contoh :
12. Tikrar Qashosh
Contoh :
13. Tikrar Amil
Contoh :

Tikrar Ma’nawi adalah pengulangan redaksi ayat di dalam Al-Qur’an yang mana pengulangan ini lebih di titk beratkan kepada ma;na atau maksud dan tujuan pengulangan tersebut. Tikrar ini memiliki beberapa bentuk :
1. Mauidah
Contoh :
2. Wa’id
Contoh :
3. Wa’ad
Contoh :
4. Mubalagoh
Contoh :
5. Istihza
Contoh :
6. Tamsil
Contoh :
7. Qoshos
Contoh :
8. Na’o
Contoh :
9. Iltifat
Contoh :

0 komentar:

Posting Komentar