- Agama menempati kedudukan yang sangat lemah dalam hati masyarakat Arab pra-Islam. Walaupun mereka mempunyai kepercayaan dan amalan keagamaan, namun mereka tidak bisa dikatakan sebagai umat yang religious. Mereka tidak mempunyai falsafah dan tradisi intelektual yang sophisticated. Pendekatan yang mengarah pada falsafah ialah konsep mereka tentang dahr, yang senantiasa diungkapkan dalam puisi-puisi mereka. Menurut pandangan Islam, nasib manusia dan alam semesta tidaklah terkait dengan dahr, melainkan terikat oleh qadar Allah, yakni kekuasaan Allah yang transenden.
- tribalisme (kesukuan) adalah tata hidup masyarakat Arab pra Islam. Dalam hal ini ikatan darah adalah basis esensial kelompok, yang identifikasinya berupa: kesetiaan paripurna pada suku bangsa dan solidaritas kesukuan yang tak terbatas. Islam mengakui eksistensi suku bangsa dan memelihara solidaritasnya. Akan tetapi menggantikan tribalisme mereka dengan komitmen pada Allah dan rasul-Nya
- istghna berasal dari makna akar ”bebas dari keperluan” dan istilah tersebut digunakan kemudian untuk melukiskan sikap masyarakat Arab pra Islam yang memandang dirinya bebas muthlak berbuat sesuka hatinya. Ekses kepercayaan pada diri sendiri ini dalam pandangan islam merupakan keangkuhan, karena sikap mental demikian itu menyangkal sama sekali kenyataan makhluk manusia. Al-Quran berulangkali menekankan bahwa Allah sendirilah yang berhak penuh untuk berbangga tidak terikat oleh apa pun dan independen mutlak dalam arti yang sesungguhnya
- setiap keluarga terhormat mempunyai hasab yang mereka banggakan. Hasab ialah pengutaraan segala kerja terpandang para moyang, akan tetapi tiada ayal termasuk pula ke dalamnya pengutaraan nenek moyang mereka sendiri. Muhammad rasulullah melarang umatnya untuk membangga-banggakan keturunanan.
- kedermawanan. Di gurun, tempat di mana bahan-bahan keperluan hidup sangat langka, sikap hormat pada tamu dan suka menolong tak ayal lagi merupakan aspek yang penting dalam perjuangan hidup. Kedermawaan dipandang sebagai bukti kemuliaan sejati. Mereka bernyanyi: insan yang mulia tidak hiraukan hari esok”. Kata sifat karim, dalam hubungan ini, dalam istilah Arab pra Islam, merupakan gabungan dua sifat, yakni kedermawanan dan kemuliaan. Dengan kata lain, karim adalah dia yang dikenal oleh semua orang sebagai orang mulia karena dia telah membuktikan kelahirannya yang mulia itu dalam kedermawanan yang tak terbatas. Baik Islam maupun masyarakat pra islam mengenal kedermawanan ini. Perbedaannya terletak pada: islam menolak nilai-nilai kedermawanan yang bersumber dari keinginan untuk show (riya). Menurut pandangan islam, yang penting bukanlah sekedar kedermawanan, melainkan motif yang mendasarinya inama al-’amal bi al-niyat. Hlm. 33
- syaja’ah (keberanian) menempati kedudukan yang tinggi dalam tata nilai orang Arab, dan diakui sebagai ciri esensial muruwah (kemanusiaan). Akan tetapi cita keberanian dalam orang-orang Arab pra-Islam sering-sering tidak lebih baik dari keganasan yang tidak berprikemanusiaan dalam pertumpahan darah antar suku; dan ini tepat karakteristik jahiliyah sebagai lawan hilm. Dalam memujikan keberanian dan mencela kepengecutan Islam tidak berbeda dengan pandangan Arab pra-islam. Akan tetapi, sebagaimana dalam kasus kedermawanan, Islam memotong unsur-unsur esensil dari cita jahiliyah
- kesetiaan. Mereka yang menelaah puisi-puisi pra-Islam tahu betul bahwa sikap dapat dipercaya itu merupakan cita yang dijunjung tinggi. Akan tetapi cita kesetiaan pra-Islam terutama pada suku, atas dasar ikatan darah. Islam memupuk cita lama ini secara khas, dan berhasil memimpin cita tersebut pada garis tauhid: dari kesetiaan pada suku beralih menjadi kesetiaan pada Allah dan Rasul-Nya
- sabar adalah cita utama di gurun pada masa Arab pra-Islam. Sabar ini merupakan saudara kembar syaja’ah. Keduanya merupakan kejantanan para pelaga di medan laga. Dalam pandangan al-Quran, sabar tampil mengungkapkan segi esensial iman sejati pada Allah. Endang Saefudin Anshari dalam al-Muslimun No: 119, Pebruari, 1980., hlm. 33-34
Ali Yafi membagi isi kandungan al-Quran menjadi lima, yaitu:
1. Penegasan dan penguatan eksistensi wahyu
2. Penegasan masalah ketuhanan
3. Pandangan terhadap alam
4. Pengenalan manusia dan kemanusiaan
5. Pandangan terhadap masalah kehidupan.
Sementara itu, dalam pandangan Fazlur Rahman, tema pokok al-Quran dapat dikelompokan ke dalam delapan tema, yaitu:
1. Tuhan
2. Manusia sebagai Individu
3. Manusia sebagai anggota masyarakat
4. Alam semesta
5. Kenabian dan wahyu
6. Eskatalogis
7. Setan dan kejahatan
8. Lahirnya masyarakat muslim
Lain halnya dengan Mulla Shadra, menurutnya al-Quran mengandung tiga topik utama, yakni, masalah ketuhanan, jalan menuju Tuhan, dan eskatalogis.[1]
Dari uraian tersebut terlihat bahwa tujuan utama kehadiran al-Quran adalah sebagai hidayah (petunjuk) bagi manusia. Setidaknya, menurut Quraish Shihab, terdapat tiga petunjuk pokok yang dikandung al-Quran, yaitu:
- Petunjuk akidah dan kepercayaan mengenai keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan kepada eksistensi hari pembalsan.
- Petunjuk mengenai akhlak yang berisi norma-norma keagamaan dan susila
- Petunjuk mengenai syari’at yang berisi keterangan tentang dasar-dasar hukum yang mengatur relasi antara Tuhan dan hamba-Nya atau antara manusia dengan sesamanya[2].
Menurut Rasyid Ridha, terdapat tiga pokok ajaran al-Quran, yaitu: pendidikan, ilmu pengetahuan dan filsafat. Hal ini didasarkan pada surat jumat: 2. menurut Ridha, kalimat yuzakihim mengandung pengertian pendidikan dengan perbuatan dan keteladanan: al-Kitab mengandung pengertian tulisaan, bacaan yang memuat ilmu pengetahuan; dan al-hikmah mengandung pengertian ilmu yang bermanfaat yang dapat membangkitkan perbuatan-perbuatan yang salih (filsafat) (Rasyid Ridha: al-Wahy al-Muhammadi, Kairo: al-Zahra’li al-I’lam al-Arabi, 1988.
Untuk itulah Allah mengutus rasul, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semua rasul yang pilih berganti dari satu generasi ke generasi memiliki tujuan yang sama, yakni membimbing manusia ke jalan kesempurnaan.
Doktrin transenden ketauhidan Tuhan lawan politeisme dan penyembahan berhala, ciptaan tangan manusia, bertujuan pertama untuk membebaskan manusia dari paganisme dan membuka pintu terhadap pemikiran rasional. Ini adalah tujuan Islam yang pokok dan sangat penting. Tujuan yang kedua, menciptakan masyarakat beriman menggantikan masyarakat kesukuan yang berdasarkan pada pertalian kesukuan. Tujuan ketiga, menegakkan prilaku manusia rasional menggantikan perbuatan menurut aturan-aturan perilaku kesukuan yang disebut oleh al-Quran sebagai ”jahiliyah”, secara literal bermakna bodoh karena tunduk kepada aturan-aturan perilaku kesukuan menggantikan perbuatan menurut pemahaman manusia rasional. Jadi, islam memperkenalkan tingkah laku rasionalitas menggantingkan ”jahiliyat”. Tujuan keempat, bisa dikatakan bahwa dalam masyarakat beriman keadilan sosial secara historis ditetapkan dalam bentuk pengenalan zakat. Tujuan kelima, Islam membuka pintu bagi manusia kepada pemikiran yang rasional dan refleksi sebagai pengganti mengikuti tradisi dan meniru masa lalu secara membabi buta. (Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Quran, Hermeneutik dan kekuasaan, ter: Dede Iswadi Dkk Bandung, RqiS, 2003hlm. 119-120)
0 komentar:
Posting Komentar