Dalam sejarah perkembangannya, ajaran kaum sufi dapat dibedakan ke dalam beberapa periode, yang setiap periode mempunyai karekteristik masing-masing. Periode tersebut adalah (1) abad pertama dan kedua hijriah (2) abad ketiga dan keempat Hijriah, (3) abad kelima Hijriah dan (4) abad keenam dan seterusnya. Sebelum kita menguraikan sejarah singkat tokoh-tokoh sufi dan pokok0pokok ajaran mereka, pada bagian ini akan diuraikan karekteristik umum ajaran kaum sufi pada setiap periode tersebut.
Kalau kita lihat uraian pada bab diatas, tampak bahwa ajaran kaum sufi pada abad pertama dan kedua bercorak akhlaki, yakni pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwa dan raga dari pengaruh-pengaruh duniawi. Dengan kata lain, ajaran mereka mengajak kaum muslimin untuk hidup zuhud sebagaimana yang diajrakan dan diperaktekan oleh NAbi saw dan para sahabat besar. Dalam hubungan ini. Al-Taftazani meringkaskan bahwa ajaran zuhud padamasa ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Ajaran zuhud berdasarkan ide untuk menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab mereka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran Al Quran dan As Sunnah serta terkena dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
2. Ajaran zuhun bersifat praktis dan para pendidrinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip-prinsip teoritis atas ajarannya itu. Sedang sarana-sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesedarhanaan, sedikit makan dan minum, banyak beribadah dan mengingat Allah, merasa sangat berdosa, tunduk secara total kepada kehendak Allah dan berserah diri kepada nya. Dengan demikian, ajaran zuhud ini mengarah kepada pembinaan moral.
3. Motivasi lainnya hidup zuhud ini adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sedang pada khir abad ke dua hijriah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyyah, munsul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap azabnya maupun rasa harap terhadap pahalanya.
4. Ajaran zuhud yang disampaikan oleh sebagian kaum zuhud pada periode terakhir, khususnya di Khurasan, dan pada Rabi’ah al Adawiyah, ditandai kedalaman membuat analisis yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf. Kelompok ini sekalipun dekat dengan tasawuf, tidak dipandang sebagai parasufi dalam pengertiannnya yang sempurna. Mereka lebih tepat dipandang sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat hijriah.
Kalau kita kembali membuka lembaran sejarah ternyata bahwa sejak abad ke 2 H ada keteganagan yang serius anatara para zahid atau sufi yang lazim disebut ulama batin dengan para ulama yang tidak menjalani tasawuf, terutama dengan para fuqaha dan mutakalimin yang lazim disebut ulama dzahir. Keteganagan-keteganagan ini, tampaknya, disebabakan anatara lain :
1. Adanya orang yang berpura-pura bertasawuf. Hal ini mungkin untuk mencari keuntung-keuntungan pribadi
2. Adanya orang-orang awam yang mungkin mengaku sebagai orang yang bertasawuf, tapi mengabaikan kewajiban-kewajiban syari’at agama.
3. Adanya orang-orang yang menyembunyikan kesufian / kesucian dirinya dengan dengan melakukan perbuatan tidak terlarang, tapi rendah nilainya agar mereka dicela orang.
4. Adanya pernyataan-pernyataan yang aneh kedengarannya yang muncul dari lidah beberapa sufi terkemuka dan berpengaruh, seperti dari Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj.
5. Adanya anggapan ‘ulama batin lebih utama dari ‘ulama zahir.s
TOKOH-TOKOH SUFI ABAD PERTAMA
1. Hasan Al Basri
Nama lengkapnya al Hasan bin Ai al Hasan Abu Sa’id. Dia dilahirkan di Madinah pada tahun 221 Hijriah/642 Masehi dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H/728 M. ia adalah putra Zaid bin Tasabit, seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretris Nabi Muhammad Saw. Ia memperoleh pendidikan di Basrah. Ia sempat bertemu dengan sahabat-sahabt Nabi, termasuk tujuh puluh di antara mereka adalah yang turut serta dalam perang Badr.
Ibunya adalah hamba sahaya Ummu Salamah, istri Nabi. Ia tumbuh dalam lingkungan orang saleh yang mendalam pengetahuan agamanya.
Hasan Al Basri tumbuh menjadi seorang tokoh diantara tokoh-tokoh yang paling terkemuka pada zamannya, dan ia termashur karena kesalehan dan keberaniannya. Secara blak-blakkan ia membenci sikap kalangan atas yang hidup berpoya-poya. Sementara teolog-teolog dari kalangan muktazilah memandang Hasan sebagai pendiri mashabnya Amr bin Ubaid dan Wasil bin Atha adalah dua di antara murid-muridnya. Sedangkan dalam jajaran sufi, ia diakui sebagai salah satu tokoh yang paling besar pada masa awal sejarahnya. Ia dikenal juga sebagai orator piawai sehingga berbagai kata dan ungkapan yang disampaikannya, banyak dikutip oleh pengarang-pengarang Arab dan tidak sedikit di anatara surat-suratnya yang masih dapat kita saksikan hingga sekarang dan terpelihara rapi.
Hasan Al Basri adalah seorang zahid yang termasyhur di kalangan tabi’in. prinsip ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan sunnah Nabi, bahkan beliaulah yang mula-mula memperbincangakan berbagai masalah yang berkaitan dengan hidup kerohanian, tenang ilmu akhlak yang erat hubungannya dengan cara mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela.
Dasar pendirian HasanAl Basri adalah hidup zuhud terhadap dunia, menolak segala kemegahan, hanya semata menuju kepada Allah, tawakal, khauf dan raja’. Janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah. Tetapi ikutilah ketakutan dengan pengharapan. Takut akan murkanya, tetapi mengaharp akan rahmatnya.
Al Taftazani mengatakan konsep zuhud Hasan Al Basri berdasarkan rasa takut yang mendalam kepada Allah Swt. Mengenai hal ini, Al Sya’rani dalam kitabnya At Tabaqat berkata : “ Dia penuh diliputi rasa takut sehingga neraka seakan di ciptakan untuk dirinya seorang” sedang Ibn Abi Al Hadid dalam Nahj Al Balagah menulis sebagai berikut : “jika seorang menemui Hasan Al Basri, dia pasti mengira Hasan sedang tertimpa suatu musibah. Hal ini karena rasa sedih dan rasa takutnya.”
Kemudian ucapan-ucapan beliau yang lain, sebagaimana di kutip Prof.Dr.Hamka, adalah sebagai berikut :
- “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik dari pada perasaan tentrammu dari pada kemudian menimbulkan takut”
- “Tafakur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, membawa kepada meninggalkannya. Barang yang fana walaupun bagaimana banayaknya, tidaklah dapat menyamai barang yang baqa, walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negri yang cepat dating dan cepat pergi ini, dan penuh dengan tipuan”
- “Dunia ini adalah seorang perempuan janda tua yang telah bongkok”
- “Orang yang beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka cita di waktu sore. Karena dia hidup diantara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah lampau, apakah gerangan balasana yang akan ditmpakan Tuhan. Dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan bahaya yang sedang mengancam
- “Patutlah orang Insyaf bahwa mati sedang mengancamnya dan kiamat menagih janjinya.”
- “Banyak berduka cita di dunia memperteguh semangat beramal saleh.
Dalam hubungan ini Dr Muhammad Mustafa Helmi, sebagai mana dikutip Prof. Dr. hamka, mengatakan bahwa zuhud beliau itu, yang didasarkan kepada takut, ialah karena takut akan siksaaan Tuhan dalam Neraka. Tetapi setelah di telaah lebih dalam, kata Hamka, ternyata bukanlah takut akan neraka itu yang menjadi sebab. Yang menjadi sebab ialah perasaan dari orang yang berjiwa besar akan kekuranagn dan kelalaian diri. Itulah sebabnya lebih tepat dikatakan bahwa dasar zuhud Hasan Al Basri bukanlah takut akan amsuk neraka, tetapi takut akan murka Tuhan. Dalam hal seperti ini, orang kadang-kadang bersikaf, biarlah masuk neraka, dari pada kena murka.
2. Ibrahim Bin Adham
Namanya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di balkh dari keluarga bangsawan Arab. Dalam legenda sufi, ia dikatakan sebagai seorang pengeran yang meninggalkan kerajaannya, lalu mengembara kea rah Barat untuk menjalani hidup sebagai seorang petapa sambil mencari nafkah yang halal hingga meninggal di negri Persia kira-kira pada tahun 160H/777 M. beberapa sumber mengatakan bahwa Ibrahim terbenuh ketika mengikuti angkatan laut yang menyerang Bizantium.
Ibrahim Bin adham adalah seorang zahid di Khurasan yang sangat menonjol di zamanya. Kendatipun ia putra seorang raja dan pengeran kerajaan Balkh, menurut Nicholson, dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang di bawahinya. Dia lebih suka memakai baju bulu domba yang kasar dan mengarahkan pandanganya ke negri Syam (Syiria), dimana ia hidup sebagai penjaga kebun dan kerja kasar yang lainnnya. Suatu ketika ia ditanay: “Mengapa anda menjauhi orang banyak?” Dia menjawab : “Kupegang teguhagama didadaku. Dengannya : aku lari satu negri ke negri yang lain, dari bumu yang kutinggalkan menuju bumi yang kudatangi. Setiap orang yang melihatku menyangka aku seorang pengembala atau orang gila. Hal ini aku lakukan dengan harapan aku bisa memeliohara kehidupan beragamaku dari godaan setan dan menjaga keimananku, sehingga selamat sampai ke pintu gerbang kematia.
Kemudian diantara ucapan-ucapannya, dia pernah mengatakan : “ketahuilah, kamu tidak akan bisa mencapai peringkat orang-orang saleh kecuali setelah kamu melewati enam pos penjagaan. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang kenikmatan dan membuka pintu gerbang kesulitan, hendaklah kamu menutup gerbang kemusyrikan dan membuka pintu gerbang kehinaan, Hendaklah kamu menutup pintu gerbang pintu santai dan membuka pintu gerbang kerja keras, hendaklah kamu menutup pintu gerbang tidur dan membuka pintu gerbang jaga malam, hendaklah kamu menutup pintu gerbang kekayaan dan membuka pintu gerbang kemiskinan, dan hendaklah kamu menutup pintu gerbang cita-cita dan membuka pintu gerbang kesiapan menghadapi mati.”
3. Sufyan Al Sauri
Nama nya adalah Abu Abdullah Sufyan bin Sa’id bin Masruq al Sauri Al Khufi. Dia dilahirkan di Kufah pada tahun 97 H/715 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 161 H/778 M. dia adalah seorang tabi’in pilihan dari seorang zahid yang jarang ada tandingannnya, bahkan merupakan seorang ulama hadis yang terkenal, sehingga dalam merawikan hadis, dia dijuluki amir al mu’min dalam hadis. Dan dia adlah salah seorang dari ulama mujahidin yang mempunyai mashab sendiri. Menurut riwayat, Abu Al Qasim Al Junaid mengikuti mashab beliau. Dan mashabnya bisa bertahan selama dua abad.
Sufyan Al Sauri sempat berguru kepada Hasan Al Basri, sehingga fatwa-fata gurunya tersebut banyak mempengaruhi jalan hidupnya. Karena itu, hidup kerohaniannyamenjurus kepada hidup yang bersahaja, penuh kesederhanaan, tidak terpukau dengan kemegahan dan kemewahan duniawi. Dia menyampaikan ajaran agama kepada murid-muridnya. Pernah menasihatkan kepada murid-muridnya agar jangan terpengaruh oleh kemewahan dan kemegahan duniawi, jangan suka menjilat kepada raja-raja dan penguasa, muru’ah harus dijaga dan dipelihara sebaik-baiknya, dan jangan sampai mengemis-ngemis pada penguasa.
Sufyan al Tsauri termasuk zahid yang sangat berani, tidak takut dibunuh dalam mengemukakan kritik terhadap penguasa, beliau sangat mencela kehidupan para penguasa yang bergelimang dalam kemewahan, hidup berfoya-foya dengan kekayaan Negara yang diperolehdari hasil ekspansi dan kemajuan islam, sementara masih banyak rakyat yang hidup dalam kemelaratan. Beliau dengan lantang memberi nasihat kepada umat islam agar jangan mengikuti kehidupan mereka yang telah rusak moralnya itu, yang jauh dari ajaran Nabi saw dan para sahabat. Diantara ucapan-ucapannya dan memberi nasihat itu ialah “supaya jangan merusak agamamu” Contoh lain tentang sikap zuhud, kerendahan hati dan ketidakpedulian beliau terhadap atribut-atribut duniawi, beliau menolak/ melarikan diri dari al Mahdi ketika khalifah itu hendak mengangkatnya sebagai hakim agung.
5. Rabi’ah al Adawiyah
Nama lengkapnya ialah Ummu al-Khair Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah. Informasi tentang biografinya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya bercorak mitos. Dia lahir di Bashrah pada tahun 96 H / 713 M, lalu hidup sebagai hamba sahaya keluarga Atik. Dia berasal dari keluarga miskin, dan dari kecil ia tinggal di kota kelahirannya. Dikota ini namanya sangat harum sebagai manusia suci dan sangat dihormati oleh orang-orang shaleh semasanya. Menurut sebuah riwayat dia meninggal pada tahun 185 H / 801 M. Orang-orang mengatakan bahwa dia dikuburkan didekat kota Jerussalem.
Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dipandang mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta (al-hubb) khas sufi kedalammistisisme dalam islam. Sebagai seorang zahidah, dia selalu menampik setiap lamaran beberapa pria shaleh.
Diantara ucapannya yang terkenal tentang zuhud ialah – sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya al-Kasyf al-Mahjub :
“suatau ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada Rabi’ah : ‘ Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu! ‘Rabi’ah menjawab : ‘aku ini begitu malu memenita hal-hal duniawi kepada pemeliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepda orang yang bukan pemiliknya?”
Seperti telah disinggung diatas, isi pokok ajaran tasawuf Rabi’ah adalah tentang cinta. Karena itu, ia mengabdi melakukan amal soleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi akan cintanya kepada Allah,. Cintanya lyang mendorongnya yang inggin selalu dekat dengan Allah, dan cinta itu pulalah yang embuat ia sedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya. Pendek kata, Allah baginya merupakan dzat yang dicintai, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Karena seluruh lorong hatinya telah di penuhi cinta ilahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci yang lain. Seseorang pernah bertanya kepadanya : “ Apakah kau benci kepada setan?” Ia menjawab : “ Tidak, cinta ku kepada Tuhan tidak meninggalklan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada setan.” Karena begitu cintanya kepda Tuhan, Ia pernah ditanaya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad Saw ia menjawab : “ saya cinta kepada Nabi, tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cintaku kepada makhluk.”
Inilah beberapa ucapan rasa cinta yang diunghkapkan oleh Rabi’ah Al Adawiah. Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwa nya, sehingga – seperti telah disebutkan diatas – ia menolak seluruh tawaran kawin denagan alasan bahwa dirinya adalah milik Allah, yang dicintainya; dan siapa yang ingin kawin dengannya haruslah meminta ijin kepada Allah. Dengan demikian, menurut Altaftazani, dapat disimpulkan bahawa Rabi’ah Al Adawiah, pada abad 2 H, telah merintis konsep zuhud dalam islam berdasarkan cinta kepada Allah. Tetapi, ia tidak hanay berbicara cinta ilahi, namun juga menguraikan ajaran-ajaran taswuf yang lain, seperti konsep zuhud, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, tobat, ridho dan lain sebagainya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar